From Pakde Google |
Pagi
menyusupi kala. Menegaskan malam telah berakhir dalam peluk hangat surya.
Membuka cakrawala baru kehidupan bak sebuah bola. Tetap berputar selalu, meski
tak beraturan arahnya. Langit biru terang, awan putih berarak menari sesuka hati
dengan angin. Suasana dingin tak jadi soal setelah datangnya kopi penghangat
angan. Didatangkan oleh seorang perempuan muda dengan sunggingan senyum manis
terpajang. Membuat aku mabuk kepayang saja.
Hari di akhir pekan memang sungguh
mengasyikkan, penuh kenangan kemauan. Perempuan itu duduk di sebelah kursi
rotan panjang. Di samping kursi, tempat ku baca koran. Indah nian, ku lirik pemandangan
di pinggir pojok mata kanan. Terpampang seorang perempuan yang senantiasa
memberikan secangkir kopi kenikmatan akhir pekan.
Wajah manjanya selalu terbayang dalam
mimpi malam. Roman tirus putih pualam. Menawan. Membuat ku tak bosan untuk
memandang. Setiap detik, menit yang terbuang berduaan. Mistisnya merenggut
kesadaran jiwa akan kehidupan.
Perempuan yang rajin bangun pagi, dimana
yang lain kesiangan. Bersih-bersih menyapu lantai. Setelah itu membuat sarapan
bersama yang lain. Mandi, berangkat menunaikan pekerjaan. Itulah aktifitasnya
keseharian. Berbeda dengan akhir pekan yang ceria dalam liburan. Ia selalu
luangkan hari itu bersama ku bercanda riang. Selama secangkir kopi belum
selesai tertunaikan.
“Mas, ada kabar apa di surat kabar?”
tanyanya manja sambil mencuri kata-kata di Koran yang ku baca.
“Ini, ada kebakaran di Pasar sebelah
dek.” sahut ku memandang penuh senang.
“Pasar Esuk di depan Pengadilan itu ya
Mas?” ujarnya memastikan.
“Iya dek.” jawab ku sembari tebar senyum
manis.
Sari, itulah nama perempuan tersebut.
Perempuan yang kupanggil adek, karena sayangnya. Perempuan desa yang menjadi
amanah dari orang tuanya bagi ku. Pun telah tiga tahun ia menetap dengan ku. Ia
periang, rajin, dan menurut kepada ku. Tak pernah ia berkata tidak, jika aku
ingin sesuatu.
Ia gadis desa pilihan, yang masih lugu
dengan pergaulan. Ia amat senang berbicara kota metropolitan, yang katanya
penuh keajaiban. Lampu berkelap-kelip, gedung tinggi menjulang, seperti ingin meraih
langit kedelapan. Walaupun kehidupannya sangat keras menghujam, kota memberikan
sebuah kepastian akan kesenangan.
Hingga akhirnya ngalor-ngidul pembicaraan tersenandungkan. Hati kami telah satu
padu oleh kasih sayang. Sampai waktu seakan lama bisa memisahkan, meski
berkisar menunggu tenggakkan terakhir secangkir kopi pagi hari.
Aku cinta Sabtu, akhir pekan.
***
Indah
sekali hari ini, langit biru tanpa awan. Mentari bertengger hangat di ufuk
timur. Membuka pintu para burung mengais penghidupan. Kontras dengan ku, yang
hari Minggu ini bermimpi bertemu bidadari. Bidadari yang elok dalam angan
sanubari utopis panjang tanpa peduli bangun kesiangan. Aku kagumi akhir pekan,
aku hargai dan rindui hari itu untuk sebuah kelengahan dari penat pekerjaan.
Sebab, Sabtu dan Minggu adalah hari yang ku nanti sejak hari senin bergulir.
Seperti
biasa Sari memberikan ku secangkir kopi di pagi hari. Ia kelihatan ayu dengan
jepit belakang rambut panjangnya. Ku hirup kopi itu pelan. Tubuh ku agak hangat
kemudian. Dengan tangan memegang gagang kopi, ku pandangi wanita itu. Ia
menunduk tersipu malu. Aku taruh gelas kopi, ku hampiri tubuh bidadari semalam.
Tepi mulutnya ku hirup perlahan. Aku tak kuasa menahan. Gelora ketidakpastian,
bergelayut. Ku ajak ia ke belakang, memadu di bawah senja temaram lampu bohlam.
Mengeja
kenikmatan kopi akhir pekan memang sungguh susah diceritakan. Seperti membaca
isyarat heliograf di kala senja. Sukar diungkap, tapi berharap tak akan
terungkap. Kisah kopi akhir pekan mengalahkan lukisan indah sang maestro
kanvas. Juga tak ada puisi satu pun yang mewakili kenikmatan ketika
menegukknya.
Peluh
merapat, menghujam setiap angan badan. Tak jadi persoalan bila waktu berhenti
berjalan. Yang penting tetap berduaan dalam senda rintihan. Tak mau tahu awan
mendung mau hujan atau daratan terhujam badai gelombang. Yang penting masih
berpagu dalam tirai kepuasan.
Penutup
ku kenakkan ketika semuanya usai. Ia ku baringkan dengan lembut. Ku hirup kopi
akhir pekan, pertanda berakhir kisah pekan ini. Kututup dengan hirup mesra
berucap ‘terimakasih’. Aku kembali ke ruang berkumpul, menonton acara hiburan
kartun akhir pekan.
“Mas,
Aku mau pergi arisan dulu ya.” ucap Ratna, Istri ku berpamitan.
“Iya
sayang. Perlu dianter nggak?” tawar ku padanya.
“Nggak
usah mas, deket kok di Rumahnya Bu Erni.” tolaknya disusul dengan kecup kening
perpisahan.
Ruang
Penghampaan, 13:57 / 10 / 31 / 11
5 comments:
kata kata lo bagus banget :')
tapi gue bingung, istrinya ratna atau sari? atau ratna sari?
nice blog btw.
thanks ya udah mampir.. :)
xoxo
kelimutu
@Ara:Thnx ra.. hayo tebak sp???
:)
@Mb Keli:Thanx mba keli.... :)
mampir lagi yah....
oke,oke,oke???
ah! gue udah ngerti sekarang *manggut manggut*
manggut2 gmana hayoooo???
hehe...
:D
Post a Comment