Saturday, July 6, 2013

Wanita dan Hak Berjilbab

Gambar dari sini

Oleh: Hendra Saputra

Kebebasan untuk mengenakan jilbab bagi setiap muslimah dalam berbagai profesi yang mereka geluti adalah sebuah hak asasi yang harus mereka dapatkan. Karena itu, sudah menjadi keniscayaan agar setiap peraturan mengenai penggunaan seragam pun baiknya mendukung premis tersebut.

Namun hal yang bersebalikan terjadi, tatkala Majelis Ulama Indonesia (MUI) menerima surat pengaduan mengenai keinginan anggota kepolisian yang perempuan untuk berjilbab (Republika, 14/6/2013). Meski pada dasarnya pihak Polri mengatakan bahwasanya tidak ada larangan berjilbab untuk polisi wanita (polwan). Tapi kenapa, peraturan terkait seragam di Polri yang termuat dalam Keputusan Kapolri No Pol: Skep/702/IX/2005 mengatakan bahwa polisi yang melanggar peraturan seragam yang sudah ditentukan bisa dikenai sanksi (Suara Merdeka,17/6/2013). 
Walaupun tidak disebutkan soal larangan mengenakan jilbab pada peraturan tersebut. Tetap saja, semisal ada polwan yang menambahkan tutup kepala (baca:jilbab) bisa dikenai sanksi karena hal itu tidak sesuai dengan peraturan yang ada. Karena dalam aturan tersebut jilbab tidak termasuk ke dalam atribut polwan. Meskipun hal tersebut di Indonesia sendiri mendapat pengecualian untuk polwan yang ada di Aceh. Sebab di sana justru para polwan diwajibkan mengenakan jilbab. 
Padahal dibeberapa negara yang mayoritas non-muslim seperti di Hungaria, Swedia, Inggris, Denmark, Australia, Kanada, Selandia Baru, Jerman, dan Amerika Serikat (AS), polisi serta tentara wanita muslimah diperbolehkan mengenakan jilbab saat bertugas. Meski, sebagian besar penduduk di negara-negara tersebut adalah Nasrani.  
Seperti misalnya di Hungaria yang telah dibuat peraturan untuk korps polisi wanita yang mengenakan jilbab dengan pakaian dinas yang dirancang sesuai dengan bahan dan kerudung yang serasi. Di Australia dan Selandia Baru juga banyak polwan berjilbab yang sibuk mengatur lalu lintas. Pun di Inggris, polwan berjilbab ada yang bertugas di satuan reskrim, tidak hanya ditempatkan di satuan lalu lintas saja. Di Denmark, mengizinkan muslimah berjilbab untuk mengikuti pendidikan militer. AS bahkan tidak melarang sejumlah tentara wanitanya memakai jilbab ketika bertugas, karena mereka sangat melindungi hak berekspresi warganya, termasuk dalam hal berpakaian.
Melanggar Prinsip HAM
Lalu kenapa di Indonesia yang mempunyai predikat sebagai negara muslim terbanyak di dunia tapi malah belum sepenuhnya mendukung hak warganya dalam berjilbab. Padahal secara konstitusional hak tersebut secara tersurat sudah dituangkan dalam Pasal 29 Ayat 2 UUD 1945 yang mengatakan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk  agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Dalam hal ini, memakai jilbab juga termasuk ke dalam menjalankan syariat agama.
Maka dari itu, sudah semestinya tidak ada lagi larangan bagi muslimah yang berkarir sebagai anggota TNI maupun Polri untuk berjilbab. Apalagi jumlah anggota tentara perempuan dan polwan Indonesia sebagian besar adalah muslimah. Menilik, dalam ajaran Islam itu sendiri memakai jilbab bukanlah sekadar hak asasi saja, melainkan telah menjadi kewajiban asasi. Karenanya melarang seseorang untuk tidak boleh mengenakan jilbab itu justru bertentangan dengan prinsip-prinsip HAM serta hak-hak konstitusi itu sendiri.
Anggapan yang Keliru
            Bagaimanapun juga, sebaiknya polwan dan korps wanita TNI ataupun muslimah di instansi lainnya yang ingin mengenakan pakaian dinas berjilbab itu diberikan izin maupun diatur dalam pemakaiannya. Jikalau, ada yang berpendapat bahwa dengan berjilbab seorang perempuan muslimah akan terhambat kinerjanya. Menurut penulis itu adalah anggapan yang keliru sebab pakaian seragam yang dipadukan dengan jilbab tidaklah menghalangi aktivitas, kegesitan, dan kelincahan gerak para polwan atau tentara di lapangan.
Hal ini telah dibuktikan oleh para tentara wanita dan polwan berkerudung di sejumlah negara mayoritas non-muslim seperti Hungaria, Inggris, Australia, Selandian Baru, serta AS.  Bahkan, sejumlah negara Muslim seperti Yordania, Pakistan, Irak, Mesir, dan sejumlah negara Timur Tengah lainnya malah merasa amat bangga bila dikalangan polisi maupun militer banyak para prajurit wanita yang mengenakan jilbab.
Mengaca pada negara-negara tersebut sudah seharusnya Indonesia mengizinkan para prajurit wanita dari institusi TNI maupun Polri untuk berjilbab di seluruh wilayah NKRI, tidak hanya di Aceh semata. Apalagi iklim demokrasi di tanah air tercinta ini begitu kental, maka dari itu sudah sepatutnya pemerintah bisa memberikan dan mengapresiasi setiap umat beragama untuk menjalankan syariatnya masing-masing. Tidak malah “membunuh” hak mereka untuk berjilbab dengan adanya upaya pemaksaan kehendak dalam sebuah peraturan yang katanya “rigid”.
Bagaimanapun juga, setiap aturan yang dibuat manusia tentunya tak ada yang sempurna dan sifatnya bisa diubah. Jadi aturan yang bisa berkonotasi “melarang” polwan berjilbab tersebut penulis pikir sudah semestinya untuk ditinjau kembali atau bahkan diubah untuk sebuah kemaslahatan bersama. Karena berjilbab tidak akan mengganggu tugas dan profesionalitas pekerjaan seorang wanita (baca:polwan dan tentara wanita).


Hendra Saputra, Sekretaris Redaksi Majalah Lembaga Pers Mahasiswa Edukasi Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan IAIN Walisongo Semarang