Oleh: Hendra Saputra
Sudah semestinya, Indonesia optimis menatap masa
depannya. Apalagi jika melihat laporan oleh Bank Dunia yang bertajuk “Global Development Horizons 2011
Multipolarity: The New Global Economy,” yang menempatkan Indonesia, Brasil,
China, India, Korea Selatan, dan Rusia sebagai penopang pertumbuhan ekonomi
dunia hingga tahun 2025 mendatang. Keenam negara tersebut adalah kekuatan baru
ekonomi dunia yang akan membantu pertumbuhan ekonomi di negara-negara
miskin. Hal itu dikarenakan ekonomi negara-negara berkembang
diperkirakan tumbuh 4,7 persen per tahun selama periode 2011-2025, lebih tinggi
ketimbang negara-negara maju yang hanya tumbuh 2,3 persen per tahun.
Karena bagaimanapun juga, Indonesia memang
pantas mendapatkan gelar sebagai salah satu negara maju di dunia. Menilik, dari
sumber daya manusia (SDM) sendiri, Indonesia
merupakan salah satu negara dengan populasi penduduk terbanyak di dunia. Berada
di urutan ke empat setelah China, India, dan Amerika Serikat. Indonesia pun
menjadi salah satu negara yang dilalui oleh garis khatulistiwa, yang
mengakibatkan iklim di Indonesia tropis dengan tanah subur dan kaya mineral
serta tambangnya. Akan tetapi, meskipun bangsa ini
memiliki berbagai potensi yang potensial mengapa gelar sebagai negara maju belumlah terealisasi sampai sekarang?
Maka
dari itu, untuk mewujudkan hal tersebut haruslah ada rekonstruksi diberbagai aspek. Entah itu pada aspek
para stakeholder negara ini, supaya
dapat lebih amanah dalam menjalankan tugasnya. Aspek sosial budaya yang masih
perlu diberikan arahan supaya tidak tercipta lagi konflik sosial maupun
perpecahan dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sampai pada
akhirnya ke masalah yang paling mendasar dan urgen,
yaitu masalah pendidikan bangsa ini.
Mengingat,
pendidikan merupakan kawah
candradimuka yang penting bagi para putra-putri bangsa. Generasi bangsa yang
kelak akan memegang tampu tanggung jawab masa depan negara Indonesia. Seperti
kata filosof terkenal dari Yunani, Aristoteles yang mengatakan “Siapa pun yang
pernah memikirkan seni memerintah umat manusia, maka akan merasa yakin bahwa
nasib suatu negara akan ditentukan oleh pendidikan kaum muda.”
Pendidikan Bermental Babu
Sementara itu, persaingan di
dunia kerja membutuhkan orang-orang yang siap saing, sebab pasar bebas sudah
merambah Indonesia. Namun,
sayangnya kategori siap saing kebanyakan diparameterkan dengan
legalitas dalam ijasah
semata. Pengakuan yang belum tentu sesuai dengan capability pemilik
ijasah tersebut. Orientasi pendidikan
yang mencerdaskanpun kembali
dipertanyakan. Apakah sudah
mencetak kader-kader bangsa yang bisa membangun negeri ini ke depannya? Lalu dengan apa kader
itu membangun bangsa?
Lebih lanjut, kebanyakan mind set para pelaku pendidikan di
negara ini juga
masih banyak yang berorientasikan pada pekerjaan, alias
berpikiran menjadi pegawai.
Yang dalam bahasa kasarnya dapat dibilang menjadi “babu”. Pendidikan belum
bisa sepenuhnya mencetak generasi bangsa yang bermental pengusaha. Terbukti
dari sekian ribu mahasiswa lulusan perguruan tinggi, hanya sedikit yang bisa
membuka usaha sendiri. Mereka lebih banyak berpikiran untuk menjadi pegawai,
seperti pegawai kantoran atau pegawai negeri sipil (PNS) yang mendapatkan gaji
tetap.
Masalah lainnya, pendidikan sekolah pun
kurang atau tidak dapat menjawab tantangan pembangunan yang memerlukan
tenaga-tenaga yang berswadaya dengan watak pembangunan dan mental yang tangguh.
Oleh karena itu, timbul kesangsian terhadap sekolah yang hanya dapat memberi
pelajaran-pelajaran teori dan kurang memberi keterampilan sebagai bekal hidup
anak kelak. Apalagi pembinaan mental kurang mendapat perhatian. Pelajar-pelajar
sekolah bidang umum pun bergerak memucuk secara piramidal (bahaya bila terbalik
pucuknya di bawah) dan membanjir pada tingkat perguruan tingginya (Everett
Reimer, 2000:VII).
Rekonstruksi
Pendidikan
Padahal menurut Sosiolog
David McClelland “Suatu negara bisa menjadi makmur jika ada enterperneur
setidaknya 2% dari jumlah seluruh penduduk.” Sedangkan di Indonesia sendiri
baru 0,18 % enterpreneur dari jumlah penduduk, oleh karena itu Indonesia masih
membutuhkan sekitar empat juta enterpreneur lagi. Hal itu akan didapat jika
lembaga pendidikan yang sifatnya mencetak karakter dan mutu putra-putri bangsa
dapat bersumbangsih. Dengan salah satunya mengadakan dan mengembangkan
pelajaran enterpreneurship kepada para peserta didik. Entrepreneur di sini dapat diartikan sebagai suatu aktivitas yang secara konsisten dilakukan guna mengkonversi
ide-ide yang bagus menjadi kegiatan usaha yang menguntungkan (Peter
F. Drucker).
Oleh sebab itu, pendidikan di Indonesia mendatang harus
lah dapat membentuk karakter peserta didik yang bermental pengusaha. Punya
sifat kewirausahaan yang siap menanggung risiko, percaya diri, kreatif,
inovatif, dan
sebagainya. Sehingga
dapat menjadikan barang yang tak berguna menjadi barang
yang bernilai guna tinggi.
Dalam praksis pendidikan entrepreneur itu
sendiri, nantinya juga tidak boleh meninggalkan aspek terpenting dalam prinsip entrepreneur,
yaitu iman, ilmu, dan ikhtiar. Lalu dalam pembelajarannya pun lebih
mengedepankan praktik langsung ke lapangan, misalnya saja peserta didik disuruh
untuk menjual suatu barang atau peserta didik diberikan beberapa uang kemudian
mereka disuruh mencari ide untuk menggunakan uang tersebut sebagai modal usaha
mereka dan sebagainya, yang penting dalam pembelajarannya praktiknya yang lebih
diutamakan dari pada materi.
Dari hal itulah,
diharapkan akan muncul pengusaha-pengusaha baru yang siap tampil
bersaing di ranah pasar bebas. Selain
itu, hal tersebut juga memberikan asa bagi pertumbuhan
perekonomian di Indonesia yang sekarang makin menyedihkan saja keadaannya. Pengangguran pun
dapat di minimalkan, karena adanya banyak lapangan pekerjaan yang tersedia. Kalaupun belum bisa membuat hal
seperti itu, minimal sang entrepreneur tersebut sudah bisa hidup mandiri alias
tidak jadi pengangguran. Itu saja sudah luar biasa.
Ya semoga saja mental para generasi
muda bangsa ini bisa berubah. Sehingga tidak hanya puas untuk menjadi “babu”,
tapi cobalah berpikiran untuk punya “babu”. Seperti perkataannya Donald Trump,
“Jika kamu masih bisa berpikir, maka berpikirlah untuk menjadi orang besar”. Iya,
berpikirlah selalu untuk jadi orang besar, jangan hanya mau menjadi orang
menengah ataupun bawah. Karena kalau kata Napoleon, di dunia ini tidak ada yang
tidak mungkin, tapi tidak ada yang mudah. Jadi, selain bermimpi, kita juga
harus bisa bertindak dan selalu berusaha untuk menggapai apa yang kita impikan
tersebut.
No comments:
Post a Comment