Gambar dari sini |
Oleh: Hendra Saputra
“Saya tidak bisa melanjutkan sekolah sampai ke
perguruan tinggi karena biayanya tidak ada,” apakah masih ada orang yang
berkata seperti itu dewasa ini? Jawabannya masih, bahkan mendapat tambahan kata
“banyak sekali”. Sebab, kenyataannya memang demikian, tak sedikit orang yang
beranggapan kalau mereka tidak bisa melanjutkan pendidikan karena biaya untuk
masuk perguruan tinggi (PT) tidak ada.
Padahal sebenarnya
keinginan dan hati kecil mereka berkata, jika mereka ingin sekali untuk bisa
mengenyam pendidikan di PT. Tapi apa daya, kondisi dan situasi mengharuskan
mereka untuk memupuskan harapan tersebut.
Dari faktor itulah
akhirnya menimbulkan hukum kausalitas, meskipun Indonesia menjadi negara
peringkat keempat dengan penduduk terbanyak di dunia. Tapi tetap saja, sarjana
yang ada di Indonesia masihlah terhitung sedikit. Bahkan persentase orang yang
bisa mengenyam pendidikan tinggi jika melihat
data Badan Pusat Statistik tahun 2011, jumlah mahasiswa di Indonesia baru
mencapai 4,8 juta orang, dan bila dihitung terhadap populasi penduduk yang
berusia 19-24 tahun, maka angka partisipasi kasarnya baru sekitar 18,4 persen.
Artinya, masih banyak penduduk Indonesia berusia 19-24 tahun yang tidak mampu
mengakses pendidikan tinggi, dan rata-rata disebabkan karena mahalnya biaya kuliah,
mahalnya jalur masuk ke PT, dan lain sebagainya.
Kewajiban Negara
Miris sekali bila
melihat fakta tersebut, padahal sudah menjadi keniscayaan apabila suatu negara
menginginkan kemajuan maka lewat pendidikan yang bermutu dan relevanlah
solusinya. Karena melalui pendidikan inilah akan tercipta suatu bangsa yang
berilmu dan berkarakter. Hal itu pun sebenarnya sudah tertuang dalam preambul
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sebagai salah satu semangat tujuan bernegara,
yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.
Bahkan dalam pasal 31 ayat 1 UUD 1945
telah disebutkan, bahwa pendidikan merupakan hak warga negara. Dalam
Konvenan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya pasal 13 ayat 2C UU No. 11 tahun 2005
juga menyebutkan, bahwa pendidikan tinggi harus diadakan cuma-cuma secara bertahap.
Nah, tinggal kita tunggu saja bagaimana kebijakan pemerintah menanggapi
problema penyelenggaraan pendidikan tinggi yang merupakan kewajiban negara ini.
Sebab, hal-hal terkait pendidikan tinggi sebenarnya juga telah termaktub dalam
UU Pendidikan Tinggi (Dikti) yang telah disahkan pada 13 Juli tahun 2012 lalu.
Semisal pada pasal
74 UU Dikti yang mengatur mengenai ketentuan pengkuotaan minimal 20% dari
seluruh calon mahasiswa yang memiliki potensi akademik tinggi, tetapi kurang mampu
secara ekonomi dan calon mahasiswa dari daerah terdepan, terluar, dan
tertinggal untuk diterima serta tersebar pada semua Program Studi. Meskipun
kebijakan tersebut bernadakan “manis”. Namun sebenarnya sangat rentan sebagai
dalih bagi PT untuk melepas tangan setelah quota terpenuhi. Oleh karena itu,
menurut penulis bila memang pemerintah mau menetapkan regulasi seperti itu
sekalian saja dipatok 40% atau bahkan 60% standar penerimaan mahasiswa yang
tidak mampu. Menilik, bangsa kita ini tergolong negara berkembang
yang notabene penduduknya masih banyak yang menghuni tingkat perekonomian
menengah ke bawah.
Sedangkan sistem pinjaman dana tanpa bunga (student
loan) bagi mahasiswa kurang mampu secara ekonomi yang diatur dalam pasal 76
ayat 2 huruf c UU Dikti, menurut penulis malah sangat bertentangan dengan
semangat kewajiban negara untuk memenuhi hak pendidikan bagi warga negaranya.
Padahal sudah seharusnya niat untuk menyelenggarakan pendidikan tinggi yang bisa
dinikmati oleh semua kalangan itu menjadi maksud yang utama. Tapi, apabila
sistemnya diberikan secara kredit seperti itu, maka pemerintah pun dapat
dibilang setengah-setengah atau mungkin bisa dianggap tidak berniat untuk
memenuhi hak pendidikan para generasi bangsa.
Subsidi Silang
Dari uraian di atas tersebut sebenarnya bisa ditarik jalan
tengahnya yaitu dengan pemerintah memberikan subsidi silang bukan malah
menetapkan sistem kredit. Jadi, biaya kuliah pun nantinya akan disesuaikan
dengan tingkat ekonomi mahasiswa. Diharapkan dari hal tersebutlah sekiranya
tidak akan tercipta diskriminasi dan kesenjangan dalam pendidikan tinggi,
karena untuk pembiayaannya sudah disesuaikan dengan tingkat perekonomian
masing-masing mahasiswa. Sehingga, ke depannya tidak ada lagi orang yang
berkata bahwa mereka tidak bisa melanjutkan ke PT hanya karena masalah biaya.
Lebih lanjut, penulis rasa hal itu akan ter-cover pada penerapan Uang Kuliah
Tunggal yang ditetapkan berdasar Surat Edaran Dirjen Dikti Nomor 272/E1.1/KU/2013
tanggal 14 April 2013 dan 97/E/KU/2012 tentang Uang Kuliah Tunggal (UKT).
Dalam Surat Edaran tersebut, setiap perguruan tinggi negeri disarankan
membuat lima kategori biaya kuliah bagi mahasiswa. Sesuai aturan, besaran UKT
untuk mahasiswa kategori I adalah antara Rp. 0 sampai Rp. 500.000. Adapun,
setiap perguruan tinggi harus menerima mahasiswa dari kategori I sedikitnya 5% dari
seluruh mahasiswa yang diterima. Namun, pelaksanaan kebijakan tersebut perlu
kita awasi dan kawal bersama. Supaya penetapan tarif UKT bisa berjalan dengan
adil sesuai kapasitas finansial mahasiswa. Pun pemerintah harus rajin me-monitoring
mekanisme penerapan kebijakan tersebut serta menambah kuota kategori
dan beasiswa. Agar pendidikan tinggi di Indonesia akan benar-benar bisa
dirasakan oleh semua kalangan masyarakat.
Hendra Saputra, Penulis
adalah Sekretaris Redaksi Majalah Lembaga Pers Mahasiswa Edukasi Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan IAIN Walisongo Semarang.
No comments:
Post a Comment