Thursday, May 2, 2013

Pendidikan Tinggi untuk Semua

Gambar dari sini

Oleh: Hendra Saputra

             “Saya tidak bisa melanjutkan sekolah sampai ke perguruan tinggi karena biayanya tidak ada,” apakah masih ada orang yang berkata seperti itu dewasa ini? Jawabannya masih, bahkan mendapat tambahan kata “banyak sekali”. Sebab, kenyataannya memang demikian, tak sedikit orang yang beranggapan kalau mereka tidak bisa melanjutkan pendidikan karena biaya untuk masuk perguruan tinggi (PT) tidak ada.
            Padahal sebenarnya keinginan dan hati kecil mereka berkata, jika mereka ingin sekali untuk bisa mengenyam pendidikan di PT. Tapi apa daya, kondisi dan situasi mengharuskan mereka untuk memupuskan harapan tersebut.
            Dari faktor itulah akhirnya menimbulkan hukum kausalitas, meskipun Indonesia menjadi negara peringkat keempat dengan penduduk terbanyak di dunia. Tapi tetap saja, sarjana yang ada di Indonesia masihlah terhitung sedikit. Bahkan persentase orang yang bisa mengenyam pendidikan tinggi jika melihat data Badan Pusat Statistik tahun 2011, jumlah mahasiswa di Indonesia baru mencapai 4,8 juta orang, dan bila dihitung terhadap populasi penduduk yang berusia 19-24 tahun, maka angka partisipasi kasarnya baru sekitar 18,4 persen. Artinya, masih banyak penduduk Indonesia berusia 19-24 tahun yang tidak mampu mengakses pendidikan tinggi, dan rata-rata disebabkan karena mahalnya biaya kuliah, mahalnya jalur masuk ke PT, dan lain sebagainya.
Kewajiban Negara
            Miris sekali bila melihat fakta tersebut, padahal sudah menjadi keniscayaan apabila suatu negara menginginkan kemajuan maka lewat pendidikan yang bermutu dan relevanlah solusinya. Karena melalui pendidikan inilah akan tercipta suatu bangsa yang berilmu dan berkarakter. Hal itu pun sebenarnya sudah tertuang dalam preambul Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sebagai salah satu semangat tujuan bernegara, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.
Bahkan dalam pasal 31 ayat 1 UUD 1945 telah disebutkan, bahwa pendidikan merupakan hak warga negara. Dalam Konvenan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya pasal 13 ayat 2C UU No. 11 tahun 2005 juga menyebutkan, bahwa pendidikan tinggi harus diadakan cuma-cuma secara bertahap. Nah, tinggal kita tunggu saja bagaimana kebijakan pemerintah menanggapi problema penyelenggaraan pendidikan tinggi yang merupakan kewajiban negara ini. Sebab, hal-hal terkait pendidikan tinggi sebenarnya juga telah termaktub dalam UU Pendidikan Tinggi (Dikti) yang telah disahkan pada 13 Juli tahun 2012 lalu.
            Semisal pada pasal 74 UU Dikti yang mengatur mengenai ketentuan pengkuotaan minimal 20% dari seluruh calon mahasiswa yang memiliki potensi akademik tinggi, tetapi kurang mampu secara ekonomi dan calon mahasiswa dari daerah terdepan, terluar, dan tertinggal untuk diterima serta tersebar pada semua Program Studi. Meskipun kebijakan tersebut bernadakan “manis”. Namun sebenarnya sangat rentan sebagai dalih bagi PT untuk melepas tangan setelah quota terpenuhi. Oleh karena itu, menurut penulis bila memang pemerintah mau menetapkan regulasi seperti itu sekalian saja dipatok 40% atau bahkan 60% standar penerimaan mahasiswa yang tidak mampu. Menilik, bangsa kita ini tergolong negara berkembang yang notabene penduduknya masih banyak yang menghuni tingkat perekonomian menengah ke bawah.
Sedangkan sistem pinjaman dana tanpa bunga (student loan) bagi mahasiswa kurang mampu secara ekonomi yang diatur dalam pasal 76 ayat 2 huruf c UU Dikti, menurut penulis malah sangat bertentangan dengan semangat kewajiban negara untuk memenuhi hak pendidikan bagi warga negaranya. Padahal sudah seharusnya niat untuk menyelenggarakan pendidikan tinggi yang bisa dinikmati oleh semua kalangan itu menjadi maksud yang utama. Tapi, apabila sistemnya diberikan secara kredit seperti itu, maka pemerintah pun dapat dibilang setengah-setengah atau mungkin bisa dianggap tidak berniat untuk memenuhi hak pendidikan para generasi bangsa.
Subsidi Silang
Dari uraian di atas tersebut sebenarnya bisa ditarik jalan tengahnya yaitu dengan pemerintah memberikan subsidi silang bukan malah menetapkan sistem kredit. Jadi, biaya kuliah pun nantinya akan disesuaikan dengan tingkat ekonomi mahasiswa. Diharapkan dari hal tersebutlah sekiranya tidak akan tercipta diskriminasi dan kesenjangan dalam pendidikan tinggi, karena untuk pembiayaannya sudah disesuaikan dengan tingkat perekonomian masing-masing mahasiswa. Sehingga, ke depannya tidak ada lagi orang yang berkata bahwa mereka tidak bisa melanjutkan ke PT hanya karena masalah biaya. Lebih lanjut, penulis rasa hal itu akan ter-cover pada penerapan Uang Kuliah Tunggal yang ditetapkan berdasar Surat Edaran Dirjen Dikti Nomor 272/E1.1/KU/2013 tanggal 14 April 2013 dan 97/E/KU/2012 tentang Uang Kuliah Tunggal (UKT).
Dalam Surat Edaran tersebut, setiap perguruan tinggi negeri disarankan membuat lima kategori biaya kuliah bagi mahasiswa. Sesuai aturan, besaran UKT untuk mahasiswa kategori I adalah antara Rp. 0 sampai Rp. 500.000. Adapun, setiap perguruan tinggi harus menerima mahasiswa dari kategori I sedikitnya 5% dari seluruh mahasiswa yang diterima. Namun, pelaksanaan kebijakan tersebut perlu kita awasi dan kawal bersama. Supaya penetapan tarif UKT bisa berjalan dengan adil sesuai kapasitas finansial mahasiswa. Pun pemerintah harus rajin me-monitoring mekanisme penerapan kebijakan tersebut serta menambah kuota kategori dan beasiswa. Agar pendidikan tinggi di Indonesia akan benar-benar bisa dirasakan oleh semua kalangan masyarakat.
Hendra Saputra, Penulis adalah Sekretaris Redaksi Majalah Lembaga Pers Mahasiswa Edukasi Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan IAIN Walisongo Semarang.


No comments: