Air Akar
Gambar dari sini |
Cerpen
Benny Arnas
(Jawa Pos, 17 Maret 2013)
LANGIT menggelegar,
terus menggelegar, seolah seorang raksasa tengah muntab karena sarapan tak
kunjung tiba. Rupanya, raksasa itu sudah lapar benar, hingga tak cukup baginya
hanya meraung. Ususnya sudah melilit, perutnya sakit tak kepalang. Ia akhirnya
menangis, menangis sejadi-jadinya. Jarum-jarum bening bagai berebutan menciumi
pucuk-pucuk karet, seolah tahu benar betapa pohon-pohon tua itu meranggas
karena kemarau yang memamah beberapa purnama. Daun-daun kering yang menyelimuti
hamparan tanah di bawah payungan kanopi karet, kini lindap, basah, lembab, lalu
mempersilakan cacing, kalajengking, dan pacat menggeliat, mencari makan ke
sana-ke mari. Tak lama, raksasa itu lelah juga. Wajah langit kembali merona
biru laut. Di salah satu lembah, dekat Sungai Lubukumbuk, bianglala
melengkungkan cahaya tujuh warna. Memang, sebagaimana di kampung lain, penduduk
Kampung Nulang yang sebagian besar menyadap karet itu juga percaya bahwa
beberapa bidadari kerap singgah di kampung mereka, di lembah yang sejuk oleh
semak bambu, perdu, dan pohon-pohon besar tak bernama. Namun, mereka tak pernah
tahu bahwa Tuhan telah menurunkan seorang bidadari di tengah-tengah mereka.
Bunga
Raya, demikian guru dua puluh enam tahun itu diberinama oleh kedua orangtua
yang sudah bertamasya ke angkasa ketika usianya masih dapat dihitung dengan
sejumlah jari di sebelah tangan. Namun begitu, tak banyak yang tahu perihal
namanya yang indah itu. Penduduk Kampung Nulang memanggilnya Bunda Guru—dapat
diendus bahwa murid-muridnyalah yang memberi gelar itu, murid-murid yang merasa
tenang, damai, dan bahagia bila diajarnya.
Lain
lagi halnya dengan penduduk Kampung Nulang. Bunga Raya memang masih dipanggil
Bunda Guru, tapi bukan guru seperti di tempatnya mengajar, melainkan guru
orang-orang yang sakit. Ya, bagi mereka, Bunda Guru adalah mantri yang
hebat. Mantri? Seorang guru jadi mantri? Bagaimana bisa?
***
ADALAH satu
tahun yang lalu, ketika Bunga Raya menjejakkan kaki di sebuah SD di kampung
yang berjarak lebih dari dua puluh kilometer dari Lubuklinggau. Saat
memperkenalkan diri di hadapan murid-murid kelas lima, salah seorang murid
tiba-tiba mengerang kesakitan sambil memegang perutnya. Kelas gaduh. Bunga Raya
meminta beberapa anak laki-laki yang badannya bongsor untuk membopongnya ke
ruang guru. Dibaringkanlah ia di atas kedua meja yang didempetkan. Bunga Raya
bertanya apa yang dimakan murid itu pagi tadi. Tak ada kata-kata yang keluar
dari mulutnya kecuali erang kesakitan. Untunglah salah seorang temannya
memberitahu bahwa pagi tadi murid itu sebenarnya tidak diperkenankan berangkat
ke sekolah oleh orangtuanya karena sejak malam tadi hampir setiap satu jam
sekali ia hilir-mudik ke Sungai Lubukumbuk untuk buang hajat. Kala itu Bunga
Raya melengkungkan kedua ujung bibirnya ke atas. Ia dapat mengira-ngira apa
yang tengah mendera muridnya itu. Ia menyuruh salah seorang seorang murid yang
rumahnya dekat dengan sekolah untuk membuat segelas oralit dan membawanya ke
sekolah.
“Oralit?”
Ah,
ingat sekali Bunga Raya bagaimana ekspresi beberapa muridnya ketika membunyikan
kata itu dalam intonasi bertanya. Bahkan anak muridnya yang tengah menderita
sakit perut itu pun menghentikan erangannya seketika demi memastikan apa yang
baru saja ia dengar. Sore harinya, kedua orangtua Nalin, demikian nama anak
yang terserang diare itu, mendatangi kediaman Bunga Raya di belakang sekolah.
Sempat berdesir bulu kuduk Bunga Raya mendapati kedatangan mereka. Ia sudah
khatam bagaimana tabiat penduduk Kampung Nulang yang berdarah panas; mudah naik
pitam, dan gampang main tangan. O, apa yang terjadi dengan Nalin? Butir demi
butir keringat tumbuh dari kening Bunga Raya. Namun semua kekhawatirannya
menguap serta-merta ketika mengetahui maksud kedatangan mereka. Ternyata Nalin
sudah sembuh. Mereka berterimakasih sembari membungkukkan badan. Ah, singkuh
nian Bunga Raya. Beberapa hari setelahnya, Bunga Raya dikirimi beras,
sayur-mayur, ikan-ikan sungai, bahkan tempoyak, sejenis asam
durian khas Sumatera. Pada hari yang lain (mungkin ayah Nalin mengira Bunga
Raya juga akan menyadap karet seperti perempuan Kampung Nulang pada umumnya),
ia dikirimi sebotol cuka para, semacam air keras berwarna gelap yang sering
digunakan untuk mencetak karet sebelum siap dijual. Bunga Raya
tetap menerimanya (ia berencana akan memberikannya kepada penyadap karet
sekitar yang membutuhkan).
Barulah
Bunga Raya paham dengan siapa ia berhadapan. Orangtua Nalin adalah dua orang
terpandang. Ayahnya adalah juragan karet yang juga petinggi puak. Ibunya adalah
seorang tabib (Ah, syukurlah ia tidak seperti tabib kebanyakan yang pongah.
Ia mengakui betapa tak ada apa-apanya ia dibanding Bunga Raya yang berhasil
menyembuhkan sakit perut anaknya). Benarlah kata orang, mulut adalah tali
terpanjang untuk menyambung kabar dalam lingkaran. Ya, sejak saat itu, saban
hari, ada-ada saja orang yang datang ke kediaman Bunga Raya untuk berobat.
Sudah habis liur membasahi lidah, sudah lelah mulut menganyam kata, demi
menyangkal keyakinan penduduk tentang karomah yang kata mereka diturunkan
kepadanya, namun orang-orang kampung pandai nian membuatnya tak kuasa menolak
menjalani peran baru itu. Ada-ada saja sanggahan dan desakan mereka. Beginilah
orang kampung; bila keyakinan sudah bersarang, tak ada guna menghindar dari
permintaan!
Mati
nian, Bunga Raya!
Seiring
matahari yang tak lelah menggelinding di cakrawala, Bunga Raya harus berdamai
dengan kenyataan yang tak pernah diduga-duga. Dengan mengendarai sepeda motor
kreditan, ia rajin ke kota setelah jam mengajar berakhir untuk membeli sejumlah
obat di apotek.
Namun
… ternyata tak mudah meyakinkan penduduk untuk mengonsumsi obat-obatan moderen.
Mereka masih mengira, oralit yang diberikan kepada Nalin tempo hari adalah
ramuan rahasia. Walau sudah Bunga Raya ceritakan tentang mudahnya membuat oralit,
tapi mereka masih bergeming selama itu bukan dari Bunga Raya sendiri. Maka,
setelah berulang kali bolak-balik ke kota, setelah berulangkali berkonsultasi
dengan beberapa dokter, ahli herbal, dan teman-temannya yang peduli, Bunga Raya
akhirnya dapat membuat Air Akar. Demikianlah sari umbi-umbian dan akar-akaran
itu diberinama. Air Akar diyakini dapat menyembuhkan sejumlah penyakit dan
keluhan. Ramuan cokelat pekat itu biasanya dimasukkan ke dalam botol dan dapat
digunakan untuk waktu berbulan-bulan.Memang rasanya pahit tak kepalang. Namun,
ini bukan tentang rasa yang kerap diributkan orang-orang kota. Ini tentang
tampilan yang harus berkarib dengan alam dan kampung yang sederhana. Untuk itu
semua, Bunga Raya merelakan sebagian gajinya terpakai. Ya, Bunga Raya sadar
benar, tak cukup hanya dengan bismilah untuk mengurusi nyawa orang!
Ternyata
Tuhan memang Mahaadil. Setiap tabiat mulia yang ditanam, tentulah akan tiba
masa panen buahnya. Dan buah itu, bukan hanya dipetik Bunga Raya, tapi juga
dinikmati para penduduk yang telah menahbiskannya sebagai guru serbabisa.
Sejumlah keluhan yang lazim di derita penduduk, seperti kepala pusing, masuk
angin, dan lesu yang berkepanjangan, dapat diatasi dengan Air Akar. O, Bunga
Raya, ini bukan hanya tentang kemujaraban akar dan umbi-umbian. Ini juga
tentang karomah Tuhan, zat yang takkan mendiamkan hamba yang sudah
lintang-pukang mengikhtiarkan kebaikan ….
Bunga
Raya sadar benar. Bagaimanapun, negara menempatkannya di Kampung Nulang untuk
mengabdi sebagai guru, bukan sebagai mantri. Maka, demi menjalankan
kewajibannya tanpa mengabaikan orang-orang yang datang berobat, ia meminta Bu
Mindu, seorang janda yang berjualan rempah di pasar kalangan saban Selasa,
untuk membantunya di rumah. Ah, siapalah yang kuasa menolak permintaan Bunda
Guru yang termasyhur nama, ilmu, kepandaian, dan kebaikan hatinya. Dan seolah
berjodoh, tak membutuhkan waktu lama, Bu Mindu sudah cakap melayani keluhan
ringan penduduk yang datang ketika Bunga Raya tengah mengajar di SD. Singkat
cerita, Bunga Raya benar-benar terbantu karenanya. Ya, Bunga Raya dapat
menjalankan dua perannya dengan hati yang bungah.
Namun,
tentulah bukan kehidupan namanya, bila kebaikan bisa berlayar tanpa diusik
gelombang. Beberapa guru menjulukinya mantri abal-abal, mantri yang memanfaatkan
kebodohan para penduduk untuk menangguk rupiah. Mereka seolah-olah
mengkambinghitamkan persediaan beras, sayur-mayur, lauk-pauk, atau bahkan kain
lasem yang Bunga Raya miliki sebagai dasar gunjingan. Terakhir, Bunga Raya
mendapati mereka menggunjingkan dedikasinya terhadap anak-anak didiknya
“Terlampau
sibuk cari uang dengan menjual ramuan, bisa-bisa PNS baru tu menelantarkan
anak-anak di sekolah.”
Awalnya,
Bunga Raya terbakar oleh sindiran itu, namun setelah dipikirnya masak-masak,
tak guna melayani orang-orang yang tak dapat membuktikan ucapannya, tak guna
menanggapi orang-orang yang diragukan pengabdiannya. Ya, lucu rasanya bila
guru-guru yang kerap terlambat, justru sibuk menggunjingkan guru yang rajin.
Lagipula, apa hubungannya dengan statusnya sebagai PNS baru. Apalah guna masa
kerja yang lama bila tak paham jua tentang tugas dan kewajiban. Ya, dua jam
pelajaran pertama di SD itu hampir selalu ditangani Bunga Raya seorang. Kadang
ia meminta Bu Mindu dan Wak Samin, penjaga sekolah yang sudah pikun itu, untuk
memastikan bahwa anak-anak didiknya tidak membuat kegaduhan di kelas-kelas yang
lain. Sungguh, bila diperturutkan, betapa jengkel ia kepada kepala sekolah dan
dewan guru yang kerap datang terlambat dan alpa mengajar.
“Jangan
samakan mereka denganmu yang tinggal di kampung ini, Bunda Guru,” ujar kepala
sekolah ketika Bunga Raya mengeluhkan kedisiplinan yang tidak tegak lagi di SD
Nulang. “Apalagi sekarang ’kan pengujung tahun, maklumilah bila mereka
berhalangan datang karena hujan lebat.”
Bunga
Raya diam, mencerna kata-kata dari pimpinannya itu.
“Dan
… rekan-rekanmu itu tak bisa tinggal di Nulang sepertimu karena mereka punya
rumah dan keluarga di Lubuklinggau….”
Bunga
Raya menunduk. Matanya hangat. O, Ayah, Ibu, di mana…?
“Bukan
maksud Bapak menyinggung perasaanmu…”
Sejak
itu, Bunga Raya belajar tahu diri. Ya, di antara sepuluh orang guru (termasuk
kepala sekolah), hanya ia seorang yang memilih tinggal di Kampung Nulang
setelah SK pengangkatan pegawai diterima. Ia pun memahami betapa jarak
Nulang-Lubuklinggau sejatinya tidak dihubungkan oleh jalan yang lurus. Bahkan,
tak lebih seperempatnya yang beraspal. Selebihnya adalah jalan-jalan koral,
tanah liat yang bergelombang, kelokan yang melengkung, dan tanjakan serta
turunan yang di salah satu sisinya jurang menganga bersembunyi di balik rimbun
pakis haji dan rumput kanji. Belum lagi, beberapa jembatan yang harus dilalui
adalah bilah-bilah papan merbau yang tua, rapuh, basah, dan berlubang di
beberapa bagian. Dan di pengujung tahun seperti saat ini, tentulah hujan
menjadi penyempurna yang indah untuk semua keadaan yang mengenaskan itu. Bunga
Raya kibaskan lamunannya. Ia binar-binarkan wajahnya. Ia lapang-lapangkan
dadanya. Begitulah. Begitulah yang kerap dilakukannya bila sedih yang merundung
kian menggelisahkan.
***
AHAD itu,
Bunga Raya mengajak Bu Mindu ke Lubuklinggau. Sebelum men-starter sepeda
motor, ia menitipkan kunci kepada Wak Samin. Ia juga berpesan; kalau ada yang
datang berobat, silakan kembali bakda ashar.
Selain
membeli bahan makanan dan barang keperluan rumah tangga lainnya, kepergian
Bunga Raya ke kota juga untuk menemui beberapa orang yang selama ini
mengajarinya membuat Air Akar. Ia memang sudah meminta Bu Mindu untuk membawa
ramuan yang isinya tinggal seperempat botol itu. Sejak empat hari yang lalu,
Bunga Raya tidak nyaman dengan bau yang menguap dari ramuan itu. Benarlah,
semua orang kompeten yang ia temui menyatakan Air Akar sudah waktunya diganti.
Setelah
menunaikan shalat zuhur di masjid dekat simpang pasar, dan memastikan bahwa
semua barang sudah dibeli dan keperluan sudah ditunaikan, mereka menyusun
barang-barang di sepeda motor agar tidak jatuh selama perjalanan. Baru setengah
perjalanan ditempuh, langit perlahan-lahan kelam. Jarum-jarum bening bagai
berebutan menusuk pakaian Bunga Raya dan Bu Mindu. Mereka berteduh di bawah
pohon kelengkeng di tepi jalan. Mereka gegas mengenakan mantel yang sudah
disiapkan di dalam boks sepeda motor. Namun, tangis raksasa itu terlampau hebat
hingga hujan menghalangi pandangan Bunga Raya meskipun lampu sorot jauh telah
dinyalakan. Beberapa kali mereka menepi untuk menunaikan ashar atau sekadar
berteduh di bawah kanopi pohon rimbun. Tepat ketika azan magrib ditangkap
gendang telinga, mereka telah tiba di rumah berpagar rerimbun kembang sepatu.
Pintu
rumah tampak terbuka. Lampu-lampu sudah dinyalakan. Ah, Wak Samin memang
cekatan, pikir Bunga Raya. Bunga Raya mengucap salam. Suara Wak Samin menjawab
salam terdengar dari dapur. Bunga Raya masuk, duduk di kursi beberapa saat
setelah membuka mantel. Bu Mindu langsung ke belakang untuk mengambil wuduk.
Tak lama, Wak Samin muncul dari bilik praktik.
“Bunda
Guru, tadi ada anak tujuh tahunan dari kampung seberang yang mau berobat.”
“O
ya? Saya mohon maaf, Wak. Kami telat datang ….”
“Ya.
Saya suruh tunggu, tapi karena orangtuanya ada pekerjaan mendesak, jadi anaknya
dititipkan di sini untuk diobati. Paling sebentar lagi mereka datang untuk
menjemput.”
“Anaknya
mana, Wak?”
“Sudah
saya obati.”
“Maksud
Wak?”
“Tadi
Bunda Guru lama sekali pulangnya. Saya lihat anak itu pun sudah sesak napasnya.
Saya ambil Air Akar di dapur. Saya tuangkan ke gelas. Saya suruh dia minum.”
“Air
Akar?” Bunga Raya memeriksa tasnya. Sebotol Air Akar ada di sana. Perasaannya
tak enak. Gegas ia bangkit dan menuju ke dapur. “Air Akar yang mana, Wak?” Nada
suaranya mulai cemas.
“Anak
itu memang mengerang kesakitan ketika menenggaknya. Tapi saya teringat
kata-kata Bunda Guru, kalau minum obat itu memang rasanya tidak enak.” Wak
Samin menyusul Bunga Raya sambilnyerocos penuh percaya diri seakan
ia benar-benar berjasa telah membantu Bunda Guru dalam melakukan pengobatan.
“Bunda
Guruuu!” Teriakan Bu Mindu dari ruang praktik mengejutkan Bunga Raya dan Wak
Samin.
Bunga
Raya beristighfar serta-merta. Di pembaringan, di lihatnya seorang anak kecil
dengan tubuh biru-kaku terbujur dengan bibir yang terbakar. Bu Mindu menangis.
Bunga Raya mengalihkan pandangan ke arah Wak Samin. Jantungnya berdegup
terburu-buru. Wak Samin gegas ke belakang. Ia mengambil sebuah botol sirup yang
berisi cairan cokelat pekat.
“Saya
sering melihat Bunda Guru memberikan Air Akar ini kepada orang-orang yang
sakit,” ujar Wak Samin sembari menunjukkan botol di tangannya. “Sepertinya ini
obat semua penyakit. Apalagi anak itu cuma mengerang sebentar. Setelah itu
langsung tenang, bahkan langsung tidur.”
Bunga
Raya menyambar botol itu dari tangan Wak Samin. Bu Mindu terperangah.
Tenggorokannya tercekat. Bibir Bunga Raya menggigil. Bahunya turun naik menahan
buncah. Kepalanya bagai bergasing. Bunga Raya dan Bu Mindu bersitatap. Ada
marah dan ketakutan yang menyala di mata-mata itu. Tangannya bergetar. Botol di
tangannya jatuh. Pecah. Beling-beling berserakan. Isinya muncrat di kaki kanan
Wak Samin. Laki-laki berumur itu mengerang kesakitan. Jari-jari sebelah kakinya
terbakar seketika. Wak Samin berguling-guling menahan sakit, menahan sakitnya
kulit yang terbakar, menahan sakitnya jari-jari kaki yang terbakar, terbakar
oleh cuka para!(*)
Nulang,
29 Agustus 2011
CATATAN:
Air
Akar adalah ramuan obat sebarguna warisan leluhur. Dahulu, orang-orang tua di
Lubuklinggau kerap membuat dan menggunakannya untuk pengobatan. Air Akar tidak
hanya terbuat dari jenis akar dan umbi-umbian (seperti bangle, kunyit, jahe,
bawang putih, dll.), tapi juga dari bunga dan daun-daunan seperti kumiskucing,
sisiknaga, altowali, greges, meniran, dan kejibeling.
Benny
Arnas lahir dan tinggal di Lubuklinggau,
Sumatera Selatan. Bersama sang istri, ia mengelolal BENNYINSTITUTE, lembaga
sosial-kebudayaan di kampung halamannya. Cerpen “Air Akar” ialah peraih
penghargaan Cerpen Terbaik 2012 dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi
Kreatif.
No comments:
Post a Comment