Monday, December 30, 2013

UU Desa, Peluang ataukah Ancaman?

Gambar dari sini

Oleh: Hendra Saputra

Rancangan Undang-Undang (RUU) Desa yang sudah digodog kurang lebih selama tujuh tahun, akhirnya menuai hasil tatkala ia disahkan menjadi UU dalam Rapat Paripurna DPR pada 18 Desember 2013 lalu. Dari disahkannya UU Desa inilah, nantinya desa akan memperoleh dua sumber dana, yaitu alokasi anggaran yang diperuntukkan langsung ke desa. Alokasi anggaran tersebut telah ditetapkan sebesar 10 persen dari dan di luar dana transfer daerah. Sumber yang kedua adalah dana desa yang selama ini sudah ada. Selama ini, desa berhak memperoleh 10 persen dari dana perimbangan yang diterima kabupatennya, yang terdiri dari dana alokasi umum (DAU) dan dana bagi hasil (DBH).
Dengan adanya kebijakan seperti itulah tentunya aparatur desa serasa mendapatkan angin segar. Karena tak dapat dipungkiri bahwasanya potensi anggaran yang akan masuk ke desa baik itu dari pemerintah pusat maupun daerah bisa ditaksir hingga Rp 1 miliar per desanya, dan sangat terbuka sekali bagi pemerintah desa untuk menentukan penggunaan anggaran yang dimiliki olehnya itu.
Namun, seperti halnya perkataan dalam film Spiderman, bahwasanya “kekuatan yang besar juga menuntut tanggung jawab yang besar.” UU Desa yang berpotensi memunculkan peluang anggaran yang besar bagi desa pun sama menuntut tanggung jawab yang besar pula bagi para pengelolanya. Jangan sampai UU Desa yang didasari atas niatan untuk menjadikan desa sebagai pusat pertumbuhan dan kreativitas sosial ekonomi masyarakat di desa justru malah menjadi lumbung padi bagi para tikus-tikus.

Memicu Permasalahan
Selain itu, tak bisa dipungkiri bahwasanya UU Desa juga memiliki potensi untuk menimbulkan permasalahan di masa mendatang. Permasalahan pertama yang akan muncul adalah perebutan jabatan kepala desa yang akan semakin panas. Hal tersebut disebabkan adanya kepastian alokasi dana yang didapat desa, sehingga memicu para tokoh-tokoh potensial untuk mencalonkan dirinya sebagai kepala desa, bahkan keadaan tersebut juga bisa merambah sampai keperebutan jabatan perangkat desa yang tidak sehat.
Dari permasalahan tersebutlah, permasalahan selanjutnya akan muncul, yaitu terancamnya keharmonisan kehidupan masyarakat desa. Karena dari pemilihan kepala desa yang ketat itulah potensi terganggunya stabilitas sosial ketika seorang kepala desa sudah terpilih sangatlah tinggi. Apalagi pemilihan kepala desa yang ada di Indonesia kebanyakan masihlah mengutamakan unsur kekerabatan, sehingga tak jarang banyak para calon kepala desa yang menggunakan kekuatan kekerabatan itu untuk memenangkan suatu pemilihan.
Lebih lanjut, potensi penyelewangan anggaran pun menjadi semakin besar peluangnya. Mengingat, aparatur desa memiliki wewenang atas setiap anggaran yang akan digelontorkan ke desa tersebut. Maka dari itu, untuk mencegah berbagai permasalahan yang mungkin timbul, diperlukan sosialisasi UU Desa secara intens dan komprehensif diseluruh desa dengan pendekatan dan metodologi yang tepat. Selain itu, diperlukan juga pendidikan politik bagi masyarakat, supaya dalam pengimplementasian UU Desa ini masyarakat juga memiliki kesadaran dalam posisi, hak, dan tanggungjawab mereka. Sehingga masyarakat sebagai pelaku UU Desa ini pun bisa saling percaya dan mau bahu membahu merealisasikan tujuan dari UU ini.

Musyawarah dan Gotong Royong
Bagaimanapun juga, adanya UU Desa sudah seharusnya dapat dijadikan sebagai peluang. Sebuah sarana dan kesempatan untuk meningkatkan perekonomian dan pembangunan desa. Sehingga, janganlah sampai dalam pelaksanaannya UU Desa ini malah menjadi bumerang yang menghancurkan keharmonisan desa. Karena tujuan dari adanya UU Desa ini juga berlandaskan atas tujuan negara yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu untuk memajukan kesejahteraan umum.    
Untuk itu, hal yang perlu dipersiapkan dalam pengaplikasian UU Desa ini adalah dengan meningkatan kapasitas dan kualitas aparatur desa terlebih dahulu. Saat proses itu berjalan, sistem perencanaan dan pengawasan yang memadai pun harus segera dibuat. Dengan seperti itulah, harapannya korupsi tidak akan merambah sampai ke desa.
Dilain sisi, pemerintah desa kiranya juga perlu memerhatikan dua nilai luhur masyarakat desa yang senantiasa digunakan dalam berbagai pengambilan keputusan dan kegiatan. Dua akar budaya masyarakat desa, yaitu musyawarah dan gotong royong. Sebab dapatlah dikatakan bahwa dengan merekalah kunci dari suksesnya implementasi UU Desa ini akan tercapai.
Seperti halnya kesuksesan walikota kota Puerto Alegre di Brazil yang memberikan kesempatan bagi warganya untuk berpendapat dengan menuliskan prioritas pembangunan yang diinginkan. Hasilnya, dari proses pengumpulan pendapat inilah alokasi dan anggaran pembangunan ditetapkan. Setelah sebuah keputusan final hasil musyawarah ini diputuskan tentunya. Sehingga ketika pembangunan dilaksanakan warga pun bisa ikut gotong royong atau setidaknya merasa memiliki karena keputusan tersebut pun tidak lain adalah hasil dari partisipasi mereka sendiri.
Apalagi dalam UU Desa ini nantinya juga akan ada Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yang merupakan lembaga permusyawaratan dan permufakatan yang berfungsi menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat desa. Dengan BPD ini pulalah harapannya masyarakat desa nantinya bisa saling bermusyawarah dalam menentukan kebijakan untuk pembangunan desa. Kemudian hal lain yang patut menjadi perhatian utama pula, aparatur desa patutnya dalam pengelolaan anggaran desa juga mengedepankan transparansi dan akuntabilitas, sehingga mengarah pada “good village governance."
Pemerintah pun sudah seharusnya belajar dan mengevaluasi diri pada berbagai program sebelumnya yang pernah mencoba mensimulasikan implementasi UU Desa ini, salah satunya yaitu PNPM Mandiri Perdesaan. Karena tentunya dari program yang telah berjalan ini, pemerintah bisa memetik pembelajaran kiranya hal apa saja yang perlu didukung agar UU Desa ini menuai hasil yang efektif dan efesien. Misalnya, berbagai pelatihan untuk para pengangguran atau pekerja tidak tetap, lalu mengadakan penyuluhan pada berbagai bidang yang banyak digeluti masyarakat desa, merancang pola pengawasan dalam desa, dan sebagainya.


- Hendra Saputra, Crew LPM Edukasi Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan IAIN Walisongo.

Sunday, December 29, 2013

Beasiswa Data Print


Program beasiswa DataPrint telah memasuki tahun ketiga. Setelah sukses mengadakan program beasiswa di tahun 2011 dan 2012, maka DataPrint kembali membuat program beasiswa bagi penggunanya yang berstatus pelajar dan mahasiswa.  Hingga saat ini lebih dari 1000 beasiswa telah diberikan bagi penggunanya.
Di tahun 2013 sebanyak 500 beasiswa akan diberikan bagi pendaftar yang terseleksi. Program beasiswa dibagi dalam dua periode. Tidak ada sistem kuota berdasarkan daerah dan atau sekolah/perguruan tinggi. Hal ini bertujuan agar beasiswa dapat diterima secara merata bagi seluruh pengguna DataPrint.  Beasiswa terbagi dalam tiga nominal yaitu Rp 250 ribu, Rp 500 ribu dan Rp 1 juta. Dana beasiswa akan diberikan satu kali bagi peserta yang lolos penilaian. Aspek penilaian berdasarkan dari essay, prestasi dan keaktifan peserta.
Beasiswa yang dibagikan diharapkan dapat meringankan biaya pendidikan sekaligus mendorong penerima beasiswa untuk lebih berprestasi. Jadi, segera daftarkan diri kamu, klik kolom PENDAFTARAN pada web ini!
Pendaftaran periode 1 : 1 Februari – 30 Juni 2013
Pengumuman                : 10 Juli 2013

Pendaftaran periode 2   : 1 Juli – 31 Desember 2013
Pengumuman                : 13 Januari 2014

PERIODE
JUMLAH PENERIMA BEASISWA
@ Rp 1.000.000@ Rp 500.000@ Rp 250.000
Periode 1
50 orang
50 orang
150 orang
Periode 2
50 orang
50 orang
150 orang

Informasi Lebih lanjut bisa dilihat disini guys.

Wednesday, September 4, 2013

Memperteguh Jati Diri Jateng

Gambar dari sini

Oleh: Hendra Saputra

            Sudah tentu harapan besar untuk mewujudkan Jawa Tengah (Jateng) menjadi lebih baik lagi diletakkan pada pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih, yakni Ganjar Pranowo - Heru Sudjatmoko yang baru dilantik pada bulan Agustus kemarin. Karena pada keduanya lah bergantung nasib dan regulasi mengenai kebijakan di Jateng selama lima tahun ke depan.
Dengan visi, misi, dan serangkaian program unggulan yang dicanangkan oleh pasangan tersebutlah. Patutnya sebagai warga Jateng kita juga wajib hukumnya untuk mengapresiasi dan mendukung hal itu. Agar cita-cita menjadikan Jateng yang berdikari sesuai dengan visi dari pasangan tersebut bisa terwujud.
Sebuah visi yang mempunyai makna menjadikan Jateng yang bisa mandiri dan berdiri dengan kakinya sendiri. Adapun langkahnya dengan membangun ekonomi kerakyatanan, mewujudkan pemerintahan yang bersih, jujur, dan transparan dalam pelayanan publik serta memperkokoh jati diri Jateng itu sendiri, baik dari sikap masyarakatnya (baca:gotong royong dan tepa slira), keseniannya, budayanya, maupun dalam bidang lainnya.
Lebih lanjut, dalam realisasinya pun kiranya Gubernur dan Wakilnya patutnya mengingat perkataan Wodrow Wilson, mantan Presiden Amerika Serikat yang berkata bahwa “telinga seorang pemimpin harus mampu menangkap suara orang banyak". Sebab idealnya, seorang pemimpin adalah ia yang memiliki “telinga”. Telinga yang tidak hanya bisa digunakan untuk mendengar, melainkan juga mampu untuk mendengarkan. Sebagaimana takdir Tuhan yang telah menciptakan ia sepasang. Ia yang berada di kanan dan kiri kepala masing-masing orang.
Berbeda dengan mulut yang hanya diciptakan satu dalam setiap badan. Pastinya penetapan seperti itu juga ada maksudnya, yaitu agar manusia lebih banyak mendengarkan ketimbang berbicara. Dengan tidak mengumbar kata seenak udelnya sendiri (baca: janji palsu), tanpa bukti, tanpa dasar. Karena bagaimanapun juga, pemimpin yang baik adalah ia yang bisa menjadi pendengar yang baik bukan?

Maka dari itu, mulut dan telinga perlu dipelihara. Apalagi bagi seorang pemimpin yang telinganya tentu saja harus dibuka, sehingga ia kan menyimak dengan benar. Tentang hal-hal yang tak terekspresikan, tak terkatakan, tak terungkapkan oleh hati dan lisan. Barulah, bila ia sudah mendengar dan paham betul apa yang salah serta perlu dilakukan. Tentu saja, ia kan mampu memuaskan segala kebutuhan para pengikutnya.

Saturday, July 6, 2013

Wanita dan Hak Berjilbab

Gambar dari sini

Oleh: Hendra Saputra

Kebebasan untuk mengenakan jilbab bagi setiap muslimah dalam berbagai profesi yang mereka geluti adalah sebuah hak asasi yang harus mereka dapatkan. Karena itu, sudah menjadi keniscayaan agar setiap peraturan mengenai penggunaan seragam pun baiknya mendukung premis tersebut.

Namun hal yang bersebalikan terjadi, tatkala Majelis Ulama Indonesia (MUI) menerima surat pengaduan mengenai keinginan anggota kepolisian yang perempuan untuk berjilbab (Republika, 14/6/2013). Meski pada dasarnya pihak Polri mengatakan bahwasanya tidak ada larangan berjilbab untuk polisi wanita (polwan). Tapi kenapa, peraturan terkait seragam di Polri yang termuat dalam Keputusan Kapolri No Pol: Skep/702/IX/2005 mengatakan bahwa polisi yang melanggar peraturan seragam yang sudah ditentukan bisa dikenai sanksi (Suara Merdeka,17/6/2013). 
Walaupun tidak disebutkan soal larangan mengenakan jilbab pada peraturan tersebut. Tetap saja, semisal ada polwan yang menambahkan tutup kepala (baca:jilbab) bisa dikenai sanksi karena hal itu tidak sesuai dengan peraturan yang ada. Karena dalam aturan tersebut jilbab tidak termasuk ke dalam atribut polwan. Meskipun hal tersebut di Indonesia sendiri mendapat pengecualian untuk polwan yang ada di Aceh. Sebab di sana justru para polwan diwajibkan mengenakan jilbab. 
Padahal dibeberapa negara yang mayoritas non-muslim seperti di Hungaria, Swedia, Inggris, Denmark, Australia, Kanada, Selandia Baru, Jerman, dan Amerika Serikat (AS), polisi serta tentara wanita muslimah diperbolehkan mengenakan jilbab saat bertugas. Meski, sebagian besar penduduk di negara-negara tersebut adalah Nasrani.  
Seperti misalnya di Hungaria yang telah dibuat peraturan untuk korps polisi wanita yang mengenakan jilbab dengan pakaian dinas yang dirancang sesuai dengan bahan dan kerudung yang serasi. Di Australia dan Selandia Baru juga banyak polwan berjilbab yang sibuk mengatur lalu lintas. Pun di Inggris, polwan berjilbab ada yang bertugas di satuan reskrim, tidak hanya ditempatkan di satuan lalu lintas saja. Di Denmark, mengizinkan muslimah berjilbab untuk mengikuti pendidikan militer. AS bahkan tidak melarang sejumlah tentara wanitanya memakai jilbab ketika bertugas, karena mereka sangat melindungi hak berekspresi warganya, termasuk dalam hal berpakaian.
Melanggar Prinsip HAM
Lalu kenapa di Indonesia yang mempunyai predikat sebagai negara muslim terbanyak di dunia tapi malah belum sepenuhnya mendukung hak warganya dalam berjilbab. Padahal secara konstitusional hak tersebut secara tersurat sudah dituangkan dalam Pasal 29 Ayat 2 UUD 1945 yang mengatakan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk  agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Dalam hal ini, memakai jilbab juga termasuk ke dalam menjalankan syariat agama.
Maka dari itu, sudah semestinya tidak ada lagi larangan bagi muslimah yang berkarir sebagai anggota TNI maupun Polri untuk berjilbab. Apalagi jumlah anggota tentara perempuan dan polwan Indonesia sebagian besar adalah muslimah. Menilik, dalam ajaran Islam itu sendiri memakai jilbab bukanlah sekadar hak asasi saja, melainkan telah menjadi kewajiban asasi. Karenanya melarang seseorang untuk tidak boleh mengenakan jilbab itu justru bertentangan dengan prinsip-prinsip HAM serta hak-hak konstitusi itu sendiri.
Anggapan yang Keliru
            Bagaimanapun juga, sebaiknya polwan dan korps wanita TNI ataupun muslimah di instansi lainnya yang ingin mengenakan pakaian dinas berjilbab itu diberikan izin maupun diatur dalam pemakaiannya. Jikalau, ada yang berpendapat bahwa dengan berjilbab seorang perempuan muslimah akan terhambat kinerjanya. Menurut penulis itu adalah anggapan yang keliru sebab pakaian seragam yang dipadukan dengan jilbab tidaklah menghalangi aktivitas, kegesitan, dan kelincahan gerak para polwan atau tentara di lapangan.
Hal ini telah dibuktikan oleh para tentara wanita dan polwan berkerudung di sejumlah negara mayoritas non-muslim seperti Hungaria, Inggris, Australia, Selandian Baru, serta AS.  Bahkan, sejumlah negara Muslim seperti Yordania, Pakistan, Irak, Mesir, dan sejumlah negara Timur Tengah lainnya malah merasa amat bangga bila dikalangan polisi maupun militer banyak para prajurit wanita yang mengenakan jilbab.
Mengaca pada negara-negara tersebut sudah seharusnya Indonesia mengizinkan para prajurit wanita dari institusi TNI maupun Polri untuk berjilbab di seluruh wilayah NKRI, tidak hanya di Aceh semata. Apalagi iklim demokrasi di tanah air tercinta ini begitu kental, maka dari itu sudah sepatutnya pemerintah bisa memberikan dan mengapresiasi setiap umat beragama untuk menjalankan syariatnya masing-masing. Tidak malah “membunuh” hak mereka untuk berjilbab dengan adanya upaya pemaksaan kehendak dalam sebuah peraturan yang katanya “rigid”.
Bagaimanapun juga, setiap aturan yang dibuat manusia tentunya tak ada yang sempurna dan sifatnya bisa diubah. Jadi aturan yang bisa berkonotasi “melarang” polwan berjilbab tersebut penulis pikir sudah semestinya untuk ditinjau kembali atau bahkan diubah untuk sebuah kemaslahatan bersama. Karena berjilbab tidak akan mengganggu tugas dan profesionalitas pekerjaan seorang wanita (baca:polwan dan tentara wanita).


Hendra Saputra, Sekretaris Redaksi Majalah Lembaga Pers Mahasiswa Edukasi Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan IAIN Walisongo Semarang

Sunday, May 19, 2013

PENGUMUMAN NOMINATOR LOMBA MENULIS CERPEN NASIONAL LEMBAGA PERS MAHASISWA (LPM) EDUKASI FAKULTAS TARBIYAH IAIN WALISONGO SEMARANG



 
Seperti yang telah diinformasikan sebelumnya bahwasanya pelaksanaan Lomba Cerpen Nasional Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Edukasi Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang tahun 2013 yang baru pertama kali dilaksanakan ini, telah mencatat prestasi tersendiri dalam jumlah penulis yang berpartisipasi dalam proses seleksi. Karena hingga masa penerimaan naskah cerpen terhitung dari tanggal 1 Maret s.d 30 April 2013 telah tercatat 1200 naskah yang masuk (baik via email ataupun langsung dikirim ke sekretariat LPM Edukasi). Naskah yang masuk pun sangat beragam, menarik, dan memiliki kelebihan tersendiri pada setiap naskahnya.
Hal itulah yang membuat para dewan juri cukup bingung dan kesulitan dalam menentukan 20 nominator dari sekian banyak naskah yang masuk. Dengan kriteria dan kualifikasi penjurian berdasarkan pada estetika, tema yang diangkat, eksplorasi, eksperimen, dan inovasi dalam penyajian cerita. Pada tahap ini, kami sebagai penyelenggara dengan rekomendasi para juri pun akhirnya memutuskan untuk menambah kuota jumlah nominator yang semula berjumlah 20 menjadi 25 nominator.
Berikut ini adalah nama-nama yang masuk menjadi nominator lomba atau calon juara:
1.        Ahmad Khotim Muzakka-Saputangan Fang Yin-IAIN Walisongo
2.        Amanatia Junda -Ketika Bapak Tak Mampu Lagi Membaca–UGM
3.        Andika Sahara - Negeri Mesin - Universitas Andalas
4.        Annisa Yumna Ulfah-Sekotak Pelangi Mimpi-Universitas Terbuka
5.        Aprilia Fatmawati-Blue Flower-Universitas Brawijaya
6.        Aprilia Sintya Dewi -Bulan dalam Kehampaan-Universitas Jember
7.        Arita Windi Astuti-Simfoni Terakhir-Universitas Mulawarman Samarinda
8.        Astuti A. Palupi-Pucuk-Pucuk Daun Mempelam di Pelataran-STAI Nurul Hidayah Selat Panjang Riau
9.        Azwar R. Syafrudin-Sampur-Universitas Negeri Yogyakarta
10.    Bahrul Hana M-Sekaratnya Tuhan-STAIN Purwokerto
11.    Bimo Logo Pribadianto - Tak Nyala Lagi Kunang-Kunang Kami - Universitas Negeri Jakarta
12.    Calvinantya - Bioskop Surga - Universitas Gadjah Mada
13.    Dianna Firefly - Hujan di Royal Marsden Hospital - UNTAN PONTIANAK
14.    Dina Ahsanta Puri-Janji Penunggu Malam-IKIP PGRI Semarang
15.    Dina Kamalia-Lelaki yang Membuka Obrolan di Kala Senja-IAIN Walisongo Semarang
16.    Dwi Ratih Ramadhany-Mahar Siul Dari Panyiroban-Universitas Negeri Malang
17.    Dwi Setyo Wibowo-Belulang Sunyi-Universitas Negeri Yogyakarta
18.    Ida Ayu Surina-Gandik Bukan Maling-Universitas Negeri Semarang
19.    R Abdul Azis - Meja 26 - Universitas Pendidikan Indonesia
20.    Santi Almufaroh-Bau yang Menggantung-IKIP PGRI Semarang
21.    Sulung Pamanggih-Dari Jendela yang Terbuka- IKIP PGRI Semarang
22.    Umi Ibroh-Bayang Senandung Durma-Uiversitas Diponegoro
23.    Wahyudi Kaha-Bukeng-UIN SUKA
24.    Wisnhu Bagas Murtolo - Penangkal Hujan - UHAMKA (Universitas Muhammadiyah Prof. DR. Hamka)
25.    Zainul Muttaqin-Bulan Celurit-STAIN Pamekasan

Nama-nama nominator di atas berhak mendapatkan 1 eksemplar Antologi Cerpen Hasil Lomba. Lalu, para nominator juga diwajibkan untuk datang pada acara “Seminar Pendidikan LPM Edukasi 2013” yang di dalamnya ada agenda Pengumuman dan Penganugerahan Juara Lomba Cerpen serta Launching Antologi Cerpen Hasil Lomba yang akan digelar pada Kamis, 30 Mei 2013.

Dewan Juri
1.    S Prasetyo Utomo (Cerpenis, Dosen Penulisan Kreatif IKIP PGRI Semarang),
2.    Taufik Krisna (Direktur Beranda Sastra Edukasi 2004/2005),
3.    Yusuf Purnomo (Sastrawan dari Semarang).

Antologi Cerpen Hasil Lomba ini selain akan diisi oleh karya para nominator, di dalamnya juga terdapat karya S Prasetyo Utomo sebagai Penulis Tamu. Desain dan Layout buku ini juga akan di buat oleh Abdul Basith Elqudsy, Layouter dari Novel Ayat-Ayat Cinta, Ketika Cinta Bertasbih, dll.

Untuk Pemesanan Antologi Cerpen Hasil Lomba dan Konfirmasi Kedatangan bisa menghubungi ke kontak di bawah ini.

085742941113 (Hendra Saputra)
085727129344 (Inayah Az-Zahra)

Sekretariat: Kantor LPM Edukasi Pusat Kegiatan Mahasiswa Lt. II Kampus II IAIN Walisongo Semarang.

Thursday, May 2, 2013

Pendidikan Tinggi untuk Semua

Gambar dari sini

Oleh: Hendra Saputra

             “Saya tidak bisa melanjutkan sekolah sampai ke perguruan tinggi karena biayanya tidak ada,” apakah masih ada orang yang berkata seperti itu dewasa ini? Jawabannya masih, bahkan mendapat tambahan kata “banyak sekali”. Sebab, kenyataannya memang demikian, tak sedikit orang yang beranggapan kalau mereka tidak bisa melanjutkan pendidikan karena biaya untuk masuk perguruan tinggi (PT) tidak ada.
            Padahal sebenarnya keinginan dan hati kecil mereka berkata, jika mereka ingin sekali untuk bisa mengenyam pendidikan di PT. Tapi apa daya, kondisi dan situasi mengharuskan mereka untuk memupuskan harapan tersebut.
            Dari faktor itulah akhirnya menimbulkan hukum kausalitas, meskipun Indonesia menjadi negara peringkat keempat dengan penduduk terbanyak di dunia. Tapi tetap saja, sarjana yang ada di Indonesia masihlah terhitung sedikit. Bahkan persentase orang yang bisa mengenyam pendidikan tinggi jika melihat data Badan Pusat Statistik tahun 2011, jumlah mahasiswa di Indonesia baru mencapai 4,8 juta orang, dan bila dihitung terhadap populasi penduduk yang berusia 19-24 tahun, maka angka partisipasi kasarnya baru sekitar 18,4 persen. Artinya, masih banyak penduduk Indonesia berusia 19-24 tahun yang tidak mampu mengakses pendidikan tinggi, dan rata-rata disebabkan karena mahalnya biaya kuliah, mahalnya jalur masuk ke PT, dan lain sebagainya.
Kewajiban Negara
            Miris sekali bila melihat fakta tersebut, padahal sudah menjadi keniscayaan apabila suatu negara menginginkan kemajuan maka lewat pendidikan yang bermutu dan relevanlah solusinya. Karena melalui pendidikan inilah akan tercipta suatu bangsa yang berilmu dan berkarakter. Hal itu pun sebenarnya sudah tertuang dalam preambul Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sebagai salah satu semangat tujuan bernegara, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.
Bahkan dalam pasal 31 ayat 1 UUD 1945 telah disebutkan, bahwa pendidikan merupakan hak warga negara. Dalam Konvenan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya pasal 13 ayat 2C UU No. 11 tahun 2005 juga menyebutkan, bahwa pendidikan tinggi harus diadakan cuma-cuma secara bertahap. Nah, tinggal kita tunggu saja bagaimana kebijakan pemerintah menanggapi problema penyelenggaraan pendidikan tinggi yang merupakan kewajiban negara ini. Sebab, hal-hal terkait pendidikan tinggi sebenarnya juga telah termaktub dalam UU Pendidikan Tinggi (Dikti) yang telah disahkan pada 13 Juli tahun 2012 lalu.
            Semisal pada pasal 74 UU Dikti yang mengatur mengenai ketentuan pengkuotaan minimal 20% dari seluruh calon mahasiswa yang memiliki potensi akademik tinggi, tetapi kurang mampu secara ekonomi dan calon mahasiswa dari daerah terdepan, terluar, dan tertinggal untuk diterima serta tersebar pada semua Program Studi. Meskipun kebijakan tersebut bernadakan “manis”. Namun sebenarnya sangat rentan sebagai dalih bagi PT untuk melepas tangan setelah quota terpenuhi. Oleh karena itu, menurut penulis bila memang pemerintah mau menetapkan regulasi seperti itu sekalian saja dipatok 40% atau bahkan 60% standar penerimaan mahasiswa yang tidak mampu. Menilik, bangsa kita ini tergolong negara berkembang yang notabene penduduknya masih banyak yang menghuni tingkat perekonomian menengah ke bawah.
Sedangkan sistem pinjaman dana tanpa bunga (student loan) bagi mahasiswa kurang mampu secara ekonomi yang diatur dalam pasal 76 ayat 2 huruf c UU Dikti, menurut penulis malah sangat bertentangan dengan semangat kewajiban negara untuk memenuhi hak pendidikan bagi warga negaranya. Padahal sudah seharusnya niat untuk menyelenggarakan pendidikan tinggi yang bisa dinikmati oleh semua kalangan itu menjadi maksud yang utama. Tapi, apabila sistemnya diberikan secara kredit seperti itu, maka pemerintah pun dapat dibilang setengah-setengah atau mungkin bisa dianggap tidak berniat untuk memenuhi hak pendidikan para generasi bangsa.
Subsidi Silang
Dari uraian di atas tersebut sebenarnya bisa ditarik jalan tengahnya yaitu dengan pemerintah memberikan subsidi silang bukan malah menetapkan sistem kredit. Jadi, biaya kuliah pun nantinya akan disesuaikan dengan tingkat ekonomi mahasiswa. Diharapkan dari hal tersebutlah sekiranya tidak akan tercipta diskriminasi dan kesenjangan dalam pendidikan tinggi, karena untuk pembiayaannya sudah disesuaikan dengan tingkat perekonomian masing-masing mahasiswa. Sehingga, ke depannya tidak ada lagi orang yang berkata bahwa mereka tidak bisa melanjutkan ke PT hanya karena masalah biaya. Lebih lanjut, penulis rasa hal itu akan ter-cover pada penerapan Uang Kuliah Tunggal yang ditetapkan berdasar Surat Edaran Dirjen Dikti Nomor 272/E1.1/KU/2013 tanggal 14 April 2013 dan 97/E/KU/2012 tentang Uang Kuliah Tunggal (UKT).
Dalam Surat Edaran tersebut, setiap perguruan tinggi negeri disarankan membuat lima kategori biaya kuliah bagi mahasiswa. Sesuai aturan, besaran UKT untuk mahasiswa kategori I adalah antara Rp. 0 sampai Rp. 500.000. Adapun, setiap perguruan tinggi harus menerima mahasiswa dari kategori I sedikitnya 5% dari seluruh mahasiswa yang diterima. Namun, pelaksanaan kebijakan tersebut perlu kita awasi dan kawal bersama. Supaya penetapan tarif UKT bisa berjalan dengan adil sesuai kapasitas finansial mahasiswa. Pun pemerintah harus rajin me-monitoring mekanisme penerapan kebijakan tersebut serta menambah kuota kategori dan beasiswa. Agar pendidikan tinggi di Indonesia akan benar-benar bisa dirasakan oleh semua kalangan masyarakat.
Hendra Saputra, Penulis adalah Sekretaris Redaksi Majalah Lembaga Pers Mahasiswa Edukasi Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan IAIN Walisongo Semarang.


Sunday, March 17, 2013

Air Akar
Gambar dari sini

Cerpen Benny Arnas 
(Jawa Pos, 17 Maret 2013)

LANGIT menggelegar, terus menggelegar, seolah seorang raksasa tengah muntab karena sarapan tak kunjung tiba. Rupanya, raksasa itu sudah lapar benar, hingga tak cukup baginya hanya meraung. Ususnya sudah melilit, perutnya sakit tak kepalang. Ia akhirnya menangis, menangis sejadi-jadinya. Jarum-jarum bening bagai berebutan menciumi pucuk-pucuk karet, seolah tahu benar betapa pohon-pohon tua itu meranggas karena kemarau yang memamah beberapa purnama. Daun-daun kering yang menyelimuti hamparan tanah di bawah payungan kanopi karet, kini lindap, basah, lembab, lalu mempersilakan cacing, kalajengking, dan pacat menggeliat, mencari makan ke sana-ke mari. Tak lama, raksasa itu lelah juga. Wajah langit kembali merona biru laut. Di salah satu lembah, dekat Sungai Lubukumbuk, bianglala melengkungkan cahaya tujuh warna. Memang, sebagaimana di kampung lain, penduduk Kampung Nulang yang sebagian besar menyadap karet itu juga percaya bahwa beberapa bidadari kerap singgah di kampung mereka, di lembah yang sejuk oleh semak bambu, perdu, dan pohon-pohon besar tak bernama. Namun, mereka tak pernah tahu bahwa Tuhan telah menurunkan seorang bidadari di tengah-tengah mereka.
Bunga Raya, demikian guru dua puluh enam tahun itu diberinama oleh kedua orangtua yang sudah bertamasya ke angkasa ketika usianya masih dapat dihitung dengan sejumlah jari di sebelah tangan. Namun begitu, tak banyak yang tahu perihal namanya yang indah itu. Penduduk Kampung Nulang memanggilnya Bunda Guru—dapat diendus bahwa murid-muridnyalah yang memberi gelar itu, murid-murid yang merasa tenang, damai, dan bahagia bila diajarnya.
Lain lagi halnya dengan penduduk Kampung Nulang. Bunga Raya memang masih dipanggil Bunda Guru, tapi bukan guru seperti di tempatnya mengajar, melainkan guru orang-orang yang sakit. Ya, bagi mereka, Bunda Guru adalah mantri yang hebat. Mantri? Seorang guru jadi mantri? Bagaimana bisa?
 ***
ADALAH satu tahun yang lalu, ketika Bunga Raya menjejakkan kaki di sebuah SD di kampung yang berjarak lebih dari dua puluh kilometer dari Lubuklinggau. Saat memperkenalkan diri di hadapan murid-murid kelas lima, salah seorang murid tiba-tiba mengerang kesakitan sambil memegang perutnya. Kelas gaduh. Bunga Raya meminta beberapa anak laki-laki yang badannya bongsor untuk membopongnya ke ruang guru. Dibaringkanlah ia di atas kedua meja yang didempetkan. Bunga Raya bertanya apa yang dimakan murid itu pagi tadi. Tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya kecuali erang kesakitan. Untunglah salah seorang temannya memberitahu bahwa pagi tadi murid itu sebenarnya tidak diperkenankan berangkat ke sekolah oleh orangtuanya karena sejak malam tadi hampir setiap satu jam sekali ia hilir-mudik ke Sungai Lubukumbuk untuk buang hajat. Kala itu Bunga Raya melengkungkan kedua ujung bibirnya ke atas. Ia dapat mengira-ngira apa yang tengah mendera muridnya itu. Ia menyuruh salah seorang seorang murid yang rumahnya dekat dengan sekolah untuk membuat segelas oralit dan membawanya ke sekolah.
“Oralit?”
Ah, ingat sekali Bunga Raya bagaimana ekspresi beberapa muridnya ketika membunyikan kata itu dalam intonasi bertanya. Bahkan anak muridnya yang tengah menderita sakit perut itu pun menghentikan erangannya seketika demi memastikan apa yang baru saja ia dengar. Sore harinya, kedua orangtua Nalin, demikian nama anak yang terserang diare itu, mendatangi kediaman Bunga Raya di belakang sekolah. Sempat berdesir bulu kuduk Bunga Raya mendapati kedatangan mereka. Ia sudah khatam bagaimana tabiat penduduk Kampung Nulang yang berdarah panas; mudah naik pitam, dan gampang main tangan. O, apa yang terjadi dengan Nalin? Butir demi butir keringat tumbuh dari kening Bunga Raya. Namun semua kekhawatirannya menguap serta-merta ketika mengetahui maksud kedatangan mereka. Ternyata Nalin sudah sembuh. Mereka berterimakasih sembari membungkukkan badan. Ah, singkuh nian Bunga Raya. Beberapa hari setelahnya, Bunga Raya dikirimi beras, sayur-mayur, ikan-ikan sungai, bahkan tempoyak, sejenis asam durian khas Sumatera. Pada hari yang lain (mungkin ayah Nalin mengira Bunga Raya juga akan menyadap karet seperti perempuan Kampung Nulang pada umumnya), ia dikirimi sebotol cuka para, semacam air keras berwarna gelap yang sering digunakan untuk mencetak karet sebelum siap dijualBunga Raya tetap menerimanya (ia berencana akan memberikannya kepada penyadap karet sekitar yang membutuhkan).
Barulah Bunga Raya paham dengan siapa ia berhadapan. Orangtua Nalin adalah dua orang terpandang. Ayahnya adalah juragan karet yang juga petinggi puak. Ibunya adalah seorang tabib (Ah, syukurlah ia tidak seperti tabib kebanyakan yang pongah. Ia mengakui betapa tak ada apa-apanya ia dibanding Bunga Raya yang berhasil menyembuhkan sakit perut anaknya). Benarlah kata orang, mulut adalah tali terpanjang untuk menyambung kabar dalam lingkaran. Ya, sejak saat itu, saban hari, ada-ada saja orang yang datang ke kediaman Bunga Raya untuk berobat. Sudah habis liur membasahi lidah, sudah lelah mulut menganyam kata, demi menyangkal keyakinan penduduk tentang karomah yang kata mereka diturunkan kepadanya, namun orang-orang kampung pandai nian membuatnya tak kuasa menolak menjalani peran baru itu. Ada-ada saja sanggahan dan desakan mereka. Beginilah orang kampung; bila keyakinan sudah bersarang, tak ada guna menghindar dari permintaan!
Mati nian, Bunga Raya!
Seiring matahari yang tak lelah menggelinding di cakrawala, Bunga Raya harus berdamai dengan kenyataan yang tak pernah diduga-duga. Dengan mengendarai sepeda motor kreditan, ia rajin ke kota setelah jam mengajar berakhir untuk membeli sejumlah obat di apotek.
Namun … ternyata tak mudah meyakinkan penduduk untuk mengonsumsi obat-obatan moderen. Mereka masih mengira, oralit yang diberikan kepada Nalin tempo hari adalah ramuan rahasia. Walau sudah Bunga Raya ceritakan tentang mudahnya membuat oralit, tapi mereka masih bergeming selama itu bukan dari Bunga Raya sendiri. Maka, setelah berulang kali bolak-balik ke kota, setelah berulangkali berkonsultasi dengan beberapa dokter, ahli herbal, dan teman-temannya yang peduli, Bunga Raya akhirnya dapat membuat Air Akar. Demikianlah sari umbi-umbian dan akar-akaran itu diberinama. Air Akar diyakini dapat menyembuhkan sejumlah penyakit dan keluhan. Ramuan cokelat pekat itu biasanya dimasukkan ke dalam botol dan dapat digunakan untuk waktu berbulan-bulan.Memang rasanya pahit tak kepalang. Namun, ini bukan tentang rasa yang kerap diributkan orang-orang kota. Ini tentang tampilan yang harus berkarib dengan alam dan kampung yang sederhana. Untuk itu semua, Bunga Raya merelakan sebagian gajinya terpakai. Ya, Bunga Raya sadar benar, tak cukup hanya dengan bismilah untuk mengurusi nyawa orang!
Ternyata Tuhan memang Mahaadil. Setiap tabiat mulia yang ditanam, tentulah akan tiba masa panen buahnya. Dan buah itu, bukan hanya dipetik Bunga Raya, tapi juga dinikmati para penduduk yang telah menahbiskannya sebagai guru serbabisa. Sejumlah keluhan yang lazim di derita penduduk, seperti kepala pusing, masuk angin, dan lesu yang berkepanjangan, dapat diatasi dengan Air Akar. O, Bunga Raya, ini bukan hanya tentang kemujaraban akar dan umbi-umbian. Ini juga tentang karomah Tuhan, zat yang takkan mendiamkan hamba yang sudah lintang-pukang mengikhtiarkan kebaikan ….
Bunga Raya sadar benar. Bagaimanapun, negara menempatkannya di Kampung Nulang untuk mengabdi sebagai guru, bukan sebagai mantri. Maka, demi menjalankan kewajibannya tanpa mengabaikan orang-orang yang datang berobat, ia meminta Bu Mindu, seorang janda yang berjualan rempah di pasar kalangan saban Selasa, untuk membantunya di rumah. Ah, siapalah yang kuasa menolak permintaan Bunda Guru yang termasyhur nama, ilmu, kepandaian, dan kebaikan hatinya. Dan seolah berjodoh, tak membutuhkan waktu lama, Bu Mindu sudah cakap melayani keluhan ringan penduduk yang datang ketika Bunga Raya tengah mengajar di SD. Singkat cerita, Bunga Raya benar-benar terbantu karenanya. Ya, Bunga Raya dapat menjalankan dua perannya dengan hati yang bungah.
Namun, tentulah bukan kehidupan namanya, bila kebaikan bisa berlayar tanpa diusik gelombang. Beberapa guru menjulukinya mantri abal-abal, mantri yang memanfaatkan kebodohan para penduduk untuk menangguk rupiah. Mereka seolah-olah mengkambinghitamkan persediaan beras, sayur-mayur, lauk-pauk, atau bahkan kain lasem yang Bunga Raya miliki sebagai dasar gunjingan. Terakhir, Bunga Raya mendapati mereka menggunjingkan dedikasinya terhadap anak-anak didiknya
“Terlampau sibuk cari uang dengan menjual ramuan, bisa-bisa PNS baru tu menelantarkan anak-anak di sekolah.”
Awalnya, Bunga Raya terbakar oleh sindiran itu, namun setelah dipikirnya masak-masak, tak guna melayani orang-orang yang tak dapat membuktikan ucapannya, tak guna menanggapi orang-orang yang diragukan pengabdiannya. Ya, lucu rasanya bila guru-guru yang kerap terlambat, justru sibuk menggunjingkan guru yang rajin. Lagipula, apa hubungannya dengan statusnya sebagai PNS baru. Apalah guna masa kerja yang lama bila tak paham jua tentang tugas dan kewajiban. Ya, dua jam pelajaran pertama di SD itu hampir selalu ditangani Bunga Raya seorang. Kadang ia meminta Bu Mindu dan Wak Samin, penjaga sekolah yang sudah pikun itu, untuk memastikan bahwa anak-anak didiknya tidak membuat kegaduhan di kelas-kelas yang lain. Sungguh, bila diperturutkan, betapa jengkel ia kepada kepala sekolah dan dewan guru yang kerap datang terlambat dan alpa mengajar.
“Jangan samakan mereka denganmu yang tinggal di kampung ini, Bunda Guru,” ujar kepala sekolah ketika Bunga Raya mengeluhkan kedisiplinan yang tidak tegak lagi di SD Nulang. “Apalagi sekarang ’kan pengujung tahun, maklumilah bila mereka berhalangan datang karena hujan lebat.”
Bunga Raya diam, mencerna kata-kata dari pimpinannya itu.
“Dan … rekan-rekanmu itu tak bisa tinggal di Nulang sepertimu karena mereka punya rumah dan keluarga di Lubuklinggau….”
Bunga Raya menunduk. Matanya hangat. O, Ayah, Ibu, di mana…?
“Bukan maksud Bapak menyinggung perasaanmu…”
Sejak itu, Bunga Raya belajar tahu diri. Ya, di antara sepuluh orang guru (termasuk kepala sekolah), hanya ia seorang yang memilih tinggal di Kampung Nulang setelah SK pengangkatan pegawai diterima. Ia pun memahami betapa jarak Nulang-Lubuklinggau sejatinya tidak dihubungkan oleh jalan yang lurus. Bahkan, tak lebih seperempatnya yang beraspal. Selebihnya adalah jalan-jalan koral, tanah liat yang bergelombang, kelokan yang melengkung, dan tanjakan serta turunan yang di salah satu sisinya jurang menganga bersembunyi di balik rimbun pakis haji dan rumput kanji. Belum lagi, beberapa jembatan yang harus dilalui adalah bilah-bilah papan merbau yang tua, rapuh, basah, dan berlubang di beberapa bagian. Dan di pengujung tahun seperti saat ini, tentulah hujan menjadi penyempurna yang indah untuk semua keadaan yang mengenaskan itu. Bunga Raya kibaskan lamunannya. Ia binar-binarkan wajahnya. Ia lapang-lapangkan dadanya. Begitulah. Begitulah yang kerap dilakukannya bila sedih yang merundung kian menggelisahkan.
 ***
AHAD itu, Bunga Raya mengajak Bu Mindu ke Lubuklinggau. Sebelum men-starter sepeda motor, ia menitipkan kunci kepada Wak Samin. Ia juga berpesan; kalau ada yang datang berobat, silakan kembali bakda ashar.
Selain membeli bahan makanan dan barang keperluan rumah tangga lainnya, kepergian Bunga Raya ke kota juga untuk menemui beberapa orang yang selama ini mengajarinya membuat Air Akar. Ia memang sudah meminta Bu Mindu untuk membawa ramuan yang isinya tinggal seperempat botol itu. Sejak empat hari yang lalu, Bunga Raya tidak nyaman dengan bau yang menguap dari ramuan itu. Benarlah, semua orang kompeten yang ia temui menyatakan Air Akar sudah waktunya diganti.
Setelah menunaikan shalat zuhur di masjid dekat simpang pasar, dan memastikan bahwa semua barang sudah dibeli dan keperluan sudah ditunaikan, mereka menyusun barang-barang di sepeda motor agar tidak jatuh selama perjalanan. Baru setengah perjalanan ditempuh, langit perlahan-lahan kelam. Jarum-jarum bening bagai berebutan menusuk pakaian Bunga Raya dan Bu Mindu. Mereka berteduh di bawah pohon kelengkeng di tepi jalan. Mereka gegas mengenakan mantel yang sudah disiapkan di dalam boks sepeda motor. Namun, tangis raksasa itu terlampau hebat hingga hujan menghalangi pandangan Bunga Raya meskipun lampu sorot jauh telah dinyalakan. Beberapa kali mereka menepi untuk menunaikan ashar atau sekadar berteduh di bawah kanopi pohon rimbun. Tepat ketika azan magrib ditangkap gendang telinga, mereka telah tiba di rumah berpagar rerimbun kembang sepatu.
Pintu rumah tampak terbuka. Lampu-lampu sudah dinyalakan. Ah, Wak Samin memang cekatan, pikir Bunga Raya. Bunga Raya mengucap salam. Suara Wak Samin menjawab salam terdengar dari dapur. Bunga Raya masuk, duduk di kursi beberapa saat setelah membuka mantel. Bu Mindu langsung ke belakang untuk mengambil wuduk. Tak lama, Wak Samin muncul dari bilik praktik.
“Bunda Guru, tadi ada anak tujuh tahunan dari kampung seberang yang mau berobat.”
“O ya? Saya mohon maaf, Wak. Kami telat datang ….”
“Ya. Saya suruh tunggu, tapi karena orangtuanya ada pekerjaan mendesak, jadi anaknya dititipkan di sini untuk diobati. Paling sebentar lagi mereka datang untuk menjemput.”
“Anaknya mana, Wak?”
“Sudah saya obati.”
“Maksud Wak?”
“Tadi Bunda Guru lama sekali pulangnya. Saya lihat anak itu pun sudah sesak napasnya. Saya ambil Air Akar di dapur. Saya tuangkan ke gelas. Saya suruh dia minum.”
“Air Akar?” Bunga Raya memeriksa tasnya. Sebotol Air Akar ada di sana. Perasaannya tak enak. Gegas ia bangkit dan menuju ke dapur. “Air Akar yang mana, Wak?” Nada suaranya mulai cemas.
“Anak itu memang mengerang kesakitan ketika menenggaknya. Tapi saya teringat kata-kata Bunda Guru, kalau minum obat itu memang rasanya tidak enak.” Wak Samin menyusul Bunga Raya sambilnyerocos penuh percaya diri seakan ia benar-benar berjasa telah membantu Bunda Guru dalam melakukan pengobatan.
“Bunda Guruuu!” Teriakan Bu Mindu dari ruang praktik mengejutkan Bunga Raya dan Wak Samin.
Bunga Raya beristighfar serta-merta. Di pembaringan, di lihatnya seorang anak kecil dengan tubuh biru-kaku terbujur dengan bibir yang terbakar. Bu Mindu menangis. Bunga Raya mengalihkan pandangan ke arah Wak Samin. Jantungnya berdegup terburu-buru. Wak Samin gegas ke belakang. Ia mengambil sebuah botol sirup yang berisi cairan cokelat pekat.
“Saya sering melihat Bunda Guru memberikan Air Akar ini kepada orang-orang yang sakit,” ujar Wak Samin sembari menunjukkan botol di tangannya. “Sepertinya ini obat semua penyakit. Apalagi anak itu cuma mengerang sebentar. Setelah itu langsung tenang, bahkan langsung tidur.”
Bunga Raya menyambar botol itu dari tangan Wak Samin. Bu Mindu terperangah. Tenggorokannya tercekat. Bibir Bunga Raya menggigil. Bahunya turun naik menahan buncah. Kepalanya bagai bergasing. Bunga Raya dan Bu Mindu bersitatap. Ada marah dan ketakutan yang menyala di mata-mata itu. Tangannya bergetar. Botol di tangannya jatuh. Pecah. Beling-beling berserakan. Isinya muncrat di kaki kanan Wak Samin. Laki-laki berumur itu mengerang kesakitan. Jari-jari sebelah kakinya terbakar seketika. Wak Samin berguling-guling menahan sakit, menahan sakitnya kulit yang terbakar, menahan sakitnya jari-jari kaki yang terbakar, terbakar oleh cuka para!(*)

Nulang, 29 Agustus 2011

CATATAN:
Air Akar adalah ramuan obat sebarguna warisan leluhur. Dahulu, orang-orang tua di Lubuklinggau kerap membuat dan menggunakannya untuk pengobatan. Air Akar tidak hanya terbuat dari jenis akar dan umbi-umbian (seperti bangle, kunyit, jahe, bawang putih, dll.), tapi juga dari bunga dan daun-daunan seperti kumiskucing, sisiknaga, altowali, greges, meniran, dan kejibeling.


Benny Arnas lahir dan tinggal di Lubuklinggau, Sumatera Selatan. Bersama sang istri, ia mengelolal BENNYINSTITUTE, lembaga sosial-kebudayaan di kampung halamannya. Cerpen “Air Akar” ialah peraih penghargaan Cerpen Terbaik 2012  dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.