Gambar dari sini |
Oleh: Hendra Saputra
Rancangan Undang-Undang (RUU) Desa yang sudah digodog kurang lebih
selama tujuh tahun, akhirnya menuai hasil tatkala ia disahkan menjadi UU dalam
Rapat Paripurna DPR pada 18 Desember 2013 lalu. Dari disahkannya UU Desa
inilah, nantinya desa akan memperoleh dua sumber dana, yaitu alokasi anggaran
yang diperuntukkan langsung ke desa. Alokasi anggaran tersebut telah ditetapkan
sebesar 10 persen dari dan di luar dana transfer daerah. Sumber yang kedua adalah
dana desa yang selama ini sudah ada. Selama ini, desa berhak memperoleh 10
persen dari dana perimbangan yang diterima kabupatennya, yang terdiri dari dana
alokasi umum (DAU) dan dana bagi hasil (DBH).
Dengan adanya kebijakan seperti itulah tentunya aparatur desa
serasa mendapatkan angin segar. Karena tak dapat dipungkiri bahwasanya potensi
anggaran yang akan masuk ke desa baik itu dari pemerintah pusat maupun daerah
bisa ditaksir hingga Rp 1 miliar per desanya, dan sangat terbuka sekali bagi
pemerintah desa untuk menentukan penggunaan anggaran yang dimiliki olehnya itu.
Namun, seperti halnya perkataan dalam film Spiderman,
bahwasanya “kekuatan yang besar juga menuntut tanggung jawab yang besar.” UU
Desa yang berpotensi memunculkan peluang anggaran yang besar bagi desa pun sama
menuntut tanggung jawab yang besar pula bagi para pengelolanya. Jangan sampai
UU Desa yang didasari atas niatan untuk menjadikan desa sebagai pusat
pertumbuhan dan kreativitas sosial ekonomi masyarakat di desa justru malah
menjadi lumbung padi bagi para tikus-tikus.
Memicu
Permasalahan
Selain itu, tak bisa dipungkiri bahwasanya UU Desa juga
memiliki potensi untuk menimbulkan permasalahan di masa mendatang. Permasalahan
pertama yang akan muncul adalah perebutan jabatan kepala desa yang akan semakin
panas. Hal tersebut disebabkan adanya kepastian alokasi dana yang didapat desa,
sehingga memicu para tokoh-tokoh potensial untuk mencalonkan dirinya sebagai
kepala desa, bahkan keadaan tersebut juga bisa merambah sampai keperebutan
jabatan perangkat desa yang tidak sehat.
Dari permasalahan tersebutlah, permasalahan selanjutnya
akan muncul, yaitu terancamnya keharmonisan kehidupan masyarakat desa. Karena
dari pemilihan kepala desa yang ketat itulah potensi terganggunya stabilitas
sosial ketika seorang kepala desa sudah terpilih sangatlah tinggi. Apalagi
pemilihan kepala desa yang ada di Indonesia kebanyakan masihlah mengutamakan
unsur kekerabatan, sehingga tak jarang banyak para calon kepala desa yang
menggunakan kekuatan kekerabatan itu untuk memenangkan suatu pemilihan.
Lebih lanjut, potensi penyelewangan anggaran pun
menjadi semakin besar peluangnya. Mengingat, aparatur desa memiliki wewenang
atas setiap anggaran yang akan digelontorkan ke desa tersebut. Maka dari itu, untuk
mencegah berbagai permasalahan yang mungkin timbul, diperlukan sosialisasi UU
Desa secara intens dan komprehensif diseluruh desa dengan pendekatan dan
metodologi yang tepat. Selain itu, diperlukan juga pendidikan politik bagi
masyarakat, supaya dalam pengimplementasian UU Desa ini masyarakat juga
memiliki kesadaran dalam posisi, hak, dan tanggungjawab mereka. Sehingga masyarakat
sebagai pelaku UU Desa ini pun bisa saling percaya dan mau bahu membahu
merealisasikan tujuan dari UU ini.
Musyawarah dan
Gotong Royong
Bagaimanapun juga, adanya UU Desa sudah seharusnya dapat dijadikan
sebagai peluang. Sebuah sarana dan kesempatan untuk meningkatkan perekonomian
dan pembangunan desa. Sehingga, janganlah sampai dalam pelaksanaannya UU Desa
ini malah menjadi bumerang yang menghancurkan keharmonisan desa. Karena tujuan
dari adanya UU Desa ini juga berlandaskan atas tujuan negara yang termaktub
dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu untuk memajukan kesejahteraan umum.
Untuk itu, hal yang perlu dipersiapkan dalam pengaplikasian UU Desa
ini adalah dengan meningkatan kapasitas dan kualitas aparatur desa terlebih
dahulu. Saat proses itu berjalan, sistem perencanaan dan pengawasan yang
memadai pun harus segera dibuat. Dengan seperti itulah, harapannya korupsi
tidak akan merambah sampai ke desa.
Dilain sisi, pemerintah desa kiranya juga perlu memerhatikan dua
nilai luhur masyarakat desa yang senantiasa digunakan dalam berbagai
pengambilan keputusan dan kegiatan. Dua akar budaya masyarakat desa, yaitu musyawarah
dan gotong royong. Sebab dapatlah dikatakan bahwa dengan merekalah kunci dari
suksesnya implementasi UU Desa ini akan tercapai.
Seperti halnya kesuksesan walikota kota Puerto Alegre di Brazil
yang memberikan kesempatan bagi warganya untuk berpendapat dengan menuliskan
prioritas pembangunan yang diinginkan. Hasilnya, dari proses pengumpulan
pendapat inilah alokasi dan anggaran pembangunan ditetapkan. Setelah sebuah
keputusan final hasil musyawarah ini diputuskan tentunya. Sehingga ketika
pembangunan dilaksanakan warga pun bisa ikut gotong royong atau setidaknya
merasa memiliki karena keputusan tersebut pun tidak lain adalah hasil dari
partisipasi mereka sendiri.
Apalagi dalam UU Desa ini nantinya juga akan ada Badan Permusyawaratan
Desa (BPD) yang merupakan lembaga permusyawaratan dan permufakatan yang
berfungsi menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat desa. Dengan BPD ini
pulalah harapannya masyarakat desa nantinya bisa saling bermusyawarah dalam
menentukan kebijakan untuk pembangunan desa. Kemudian hal lain yang patut
menjadi perhatian utama pula, aparatur desa patutnya dalam pengelolaan anggaran
desa juga mengedepankan transparansi dan akuntabilitas, sehingga mengarah pada
“good village governance."
Pemerintah pun sudah seharusnya belajar dan mengevaluasi diri pada
berbagai program sebelumnya yang pernah mencoba mensimulasikan implementasi UU
Desa ini, salah satunya yaitu PNPM Mandiri Perdesaan. Karena tentunya dari
program yang telah berjalan ini, pemerintah bisa memetik pembelajaran kiranya hal
apa saja yang perlu didukung agar UU Desa ini menuai hasil yang efektif dan
efesien. Misalnya, berbagai pelatihan untuk para pengangguran atau pekerja
tidak tetap, lalu mengadakan penyuluhan pada berbagai bidang yang banyak digeluti
masyarakat desa, merancang pola pengawasan dalam desa, dan sebagainya.
- Hendra
Saputra, Crew LPM Edukasi Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan IAIN Walisongo.
No comments:
Post a Comment