Monday, March 12, 2012

Secangkir Kopi Kenikmatan


From Pakde Google


            Pagi menyusupi kala. Menegaskan malam telah berakhir dalam peluk hangat surya. Membuka cakrawala baru kehidupan bak sebuah bola. Tetap berputar selalu, meski tak beraturan arahnya. Langit biru terang, awan putih berarak menari sesuka hati dengan angin. Suasana dingin tak jadi soal setelah datangnya kopi penghangat angan. Didatangkan oleh seorang perempuan muda dengan sunggingan senyum manis terpajang. Membuat aku mabuk kepayang saja.
Hari di akhir pekan memang sungguh mengasyikkan, penuh kenangan kemauan. Perempuan itu duduk di sebelah kursi rotan panjang. Di samping kursi, tempat ku baca koran. Indah nian, ku lirik pemandangan di pinggir pojok mata kanan. Terpampang seorang perempuan yang senantiasa memberikan secangkir kopi kenikmatan akhir pekan.
Wajah manjanya selalu terbayang dalam mimpi malam. Roman tirus putih pualam. Menawan. Membuat ku tak bosan untuk memandang. Setiap detik, menit yang terbuang berduaan. Mistisnya merenggut kesadaran jiwa akan kehidupan.
Perempuan yang rajin bangun pagi, dimana yang lain kesiangan. Bersih-bersih menyapu lantai. Setelah itu membuat sarapan bersama yang lain. Mandi, berangkat menunaikan pekerjaan. Itulah aktifitasnya keseharian. Berbeda dengan akhir pekan yang ceria dalam liburan. Ia selalu luangkan hari itu bersama ku bercanda riang. Selama secangkir kopi belum selesai tertunaikan.
“Mas, ada kabar apa di surat kabar?” tanyanya manja sambil mencuri kata-kata di Koran yang ku baca.
“Ini, ada kebakaran di Pasar sebelah dek.” sahut ku memandang penuh senang.
“Pasar Esuk di depan Pengadilan itu ya Mas?” ujarnya memastikan.
“Iya dek.” jawab ku sembari tebar senyum manis. 
Sari, itulah nama perempuan tersebut. Perempuan yang kupanggil adek, karena sayangnya. Perempuan desa yang menjadi amanah dari orang tuanya bagi ku. Pun telah tiga tahun ia menetap dengan ku. Ia periang, rajin, dan menurut kepada ku. Tak pernah ia berkata tidak, jika aku ingin sesuatu.
Ia gadis desa pilihan, yang masih lugu dengan pergaulan. Ia amat senang berbicara kota metropolitan, yang katanya penuh keajaiban. Lampu berkelap-kelip, gedung tinggi menjulang, seperti ingin meraih langit kedelapan. Walaupun kehidupannya sangat keras menghujam, kota memberikan sebuah kepastian akan kesenangan.
Hingga akhirnya ngalor-ngidul pembicaraan tersenandungkan. Hati kami telah satu padu oleh kasih sayang. Sampai waktu seakan lama bisa memisahkan, meski berkisar menunggu tenggakkan terakhir secangkir kopi pagi hari.
Aku cinta Sabtu, akhir pekan.
***
            Indah sekali hari ini, langit biru tanpa awan. Mentari bertengger hangat di ufuk timur. Membuka pintu para burung mengais penghidupan. Kontras dengan ku, yang hari Minggu ini bermimpi bertemu bidadari. Bidadari yang elok dalam angan sanubari utopis panjang tanpa peduli bangun kesiangan. Aku kagumi akhir pekan, aku hargai dan rindui hari itu untuk sebuah kelengahan dari penat pekerjaan. Sebab, Sabtu dan Minggu adalah hari yang ku nanti sejak hari senin bergulir.
            Seperti biasa Sari memberikan ku secangkir kopi di pagi hari. Ia kelihatan ayu dengan jepit belakang rambut panjangnya. Ku hirup kopi itu pelan. Tubuh ku agak hangat kemudian. Dengan tangan memegang gagang kopi, ku pandangi wanita itu. Ia menunduk tersipu malu. Aku taruh gelas kopi, ku hampiri tubuh bidadari semalam. Tepi mulutnya ku hirup perlahan. Aku tak kuasa menahan. Gelora ketidakpastian, bergelayut. Ku ajak ia ke belakang, memadu di bawah senja temaram lampu bohlam.
            Mengeja kenikmatan kopi akhir pekan memang sungguh susah diceritakan. Seperti membaca isyarat heliograf di kala senja. Sukar diungkap, tapi berharap tak akan terungkap. Kisah kopi akhir pekan mengalahkan lukisan indah sang maestro kanvas. Juga tak ada puisi satu pun yang mewakili kenikmatan ketika menegukknya. 
            Peluh merapat, menghujam setiap angan badan. Tak jadi persoalan bila waktu berhenti berjalan. Yang penting tetap berduaan dalam senda rintihan. Tak mau tahu awan mendung mau hujan atau daratan terhujam badai gelombang. Yang penting masih berpagu dalam tirai kepuasan.
            Penutup ku kenakkan ketika semuanya usai. Ia ku baringkan dengan lembut. Ku hirup kopi akhir pekan, pertanda berakhir kisah pekan ini. Kututup dengan hirup mesra berucap ‘terimakasih’. Aku kembali ke ruang berkumpul, menonton acara hiburan kartun akhir pekan.
            “Mas, Aku mau pergi arisan dulu ya.” ucap Ratna, Istri ku berpamitan.
            “Iya sayang. Perlu dianter nggak?” tawar ku padanya.
            “Nggak usah mas, deket kok di Rumahnya Bu Erni.” tolaknya disusul dengan kecup kening perpisahan.

            Ruang Penghampaan, 13:57 / 10 / 31 / 11

5 comments:

aratiararismala said...

kata kata lo bagus banget :')
tapi gue bingung, istrinya ratna atau sari? atau ratna sari?

kelimutu said...

nice blog btw.
thanks ya udah mampir.. :)

xoxo
kelimutu

Hendra Saputra said...

@Ara:Thnx ra.. hayo tebak sp???
:)

@Mb Keli:Thanx mba keli.... :)
mampir lagi yah....

oke,oke,oke???

aratiararismala said...

ah! gue udah ngerti sekarang *manggut manggut*

Hendra Saputra said...

manggut2 gmana hayoooo???
hehe...
:D