Saking: http://milis-bicara.blogspot.com/2011/12/topeng-diri.html |
Dua
belas tahun sudah hubungan itu terjalin antar dua insan manusia. Ikatan suci
yang diharapkan hanya satu kali seumur hidup dijalani. Tak ada kata pisah dalam
tali itu, hingga ajal yang akan berkata sendiri. Memisahkan dua hati dalam satu
jiwa yang terikat.
Dari dua belas tahun, sejoli itu hanya
dititipkan satu buah hati. Seorang dara yang sekarang menginjak usia sebelas
tahun. Kulitnya putih, bersih dengan mata elang seperti ibunya yang meski
umurnya sudah menginjak kepala tiga tetap terlihat muda. Sementara hidung dan dagunya
seperti ayahnya yang tirus dan dagunya lebah bergantung. Perpaduan dari dua
manusia berbeda ciptaan Tuhan.
Seperti
halnya seorang ayah pada umumnya, laki-laki setengah baya pemilik hidung tirus
itu pun seakan selalu khawatir dengan keadaan anak semata wayangnya itu.
Sehingga yang timbul adalah tindakan over
protective pada Dinda, gadis pemilik garis keturunannya.
Dari
perasaan itu, Dinda selalu dilarang pergi dengan kawanannya. Apalagi kalau
sampai senja hilang dipermukaan dia belum pulang kesangkarnya, pasti ayahnya
akan mencari kesana-kemari. Telpon teman-teman dekatnya pun akan ternadakan,
dari orang yang berinisial A sampai Z.
Tapi
hal itu, kini sudah tak dirasakannya lagi. Tak ada lagi kata jangan yang keluar
dari seseorang yang selalu melarangnya. Ketika waktu telah berkata pada sang
takdir, “ini sudah waktunya.”
***
Kabut malam bergelayut merayapi atap
bumi. Angin pergantian waktu menyapa dengan kekhasannya. Membawa ke dalam
memori lalu yang bergelayut. Masih jelas dalam ingatannya perpisahan Kelas 6 SD
yang baru diikutinya tiga bulan lalu. Masih jelas wajah kedua orang tuanya yang
hadir dalam kegembiraan melihat anaknya naik podium untuk meraih tempat sang
juara dari sekolah.
Tercetak jelas dalam ingatan, lekuk
kerut senyum yang mengembang dari kedua orang tuanya. Berharap itu akan selalu
mengenang untuk diingat bagi keduanya. Menjadi bayangan indah dalam benak
sanubari, yang semoga akan berucap bangga padanya.
Gadis
bermata elang itu masih menatap jauh keluar jendela depan rumahnya. Jauh
menerawang khayalan emas ke langit lepas, tanpa terhalang pekat malam yang
terulas. Dari sofa ruang tamulah ia memandang keluar rumah, menanti ibunya
pulang segera. Sebab sudah lewat dari jam kerja biasanya, tapi tak pulang jua.
“Din,
ibu kamu belum pulang juga?” tanya bapaknya.
“Iya
pak, belum pulang. Bapak ndak khawatir?”
“Ya
khawatir…” jawabnya kalem menyiratkan nada cemas.
Suara
deru motor dan decitan rem mengisi gendang telinga. Suara yang direspon berasal
dari luar rumah. Dinda pun melongok lebih dekat ke jendela supaya mendapatkan
fokus gambar asal suara itu. Ayahnya menyusul dengan membuka tirai jendela yang
berada di samping pintu.
Terlihat
seorang wanita turun dari boncengan sebuah motor yang dikendarai pria berhelm
hitam. Dalam temaram lampu yang kekuningan wanita itu melambaikan tangan, saat
motor itu melaju menerpa angin malam. Sesaat yang terlihat hanya punggung sang
pengendara tersebut, sebelum akhirnya hilang dipersimpangan jalan. Menyisakan
aroma kenangan berdua.
Wanita
itu pun masuk kerumah bercat putih dengan jendela cokelatnya. Sebelum gagang
pintu terpegang, pintu itu telah terbuka. Tampak seorang laki-laki dengan gips
kayu yang dililit perban di lengan tangan kanannya.
“Kok
baru pulang bu?” ucapnya dari bibir pintu.
“Iya
pak, ada lemburan. Dinda mana pak? Udah pada makan belum?” balasnya cepat
seraya masuk ke rumah.
“Belum
bu, soalnya nunggu ibu pulang dulu.” seru Dinda dari arah sofa sebelah kanan
pintu.
“Ya
udah, yuk makan dulu. Ini ibu bawa soto kambing.”
“Emang ibu udah gajian? Kok setiap ibu pulang
malam, selalu bawa makanan enak.” tanya Dinda polos.
“Ibu
kan lemburan.” jawabnya dengan nada datar berarti, kemudian tersenyum sarat
makna.
Akhir-akhir
ini, wanita itu memang selalu pulang telat kerumah. Pulangnya pun selalu
bersama pria helm hitam itu. Pulang dengan bingkisan dan seulas senyuman
bahagia tanpa merasa lelah setelah bekerja disebuah Pabrik Konveksi dari pagi.
Alasan
yang janggal dan membingungkan suaminya. Menjadi pikiran, lemburan masa hampir
tiap hari. Tapi, dia tetap beperasangka apik pada istri tercintanya itu. Meski
tak dapat dipungkiri hatinya tercabik dan panas oleh kedekatannya dengan yang
lain.
Dia
menyadari setelah kecelakaan mobil yang disopirinya masuk ke jurang. Dia sudah
hampir dua bulan tak bekerja, sebab tangannya masih sakit untuk digerakkan.
Perihal kejadian tersebut pula ia harus beristirah dirumah dan membiarkan
istrinya sendiri yang bekerja untuk menutupi biaya rumah sakit, hidup
keseharian, biaya perbaikan mobil yang masuk jurang. Walaupun itu dibantu sang
pemilik mobil sebesar 75 %, tapi tetap saja dirasa berat bagi keluarga kecil
ini.
Hanya bisa berharap semoga tangannya
lekas sembuh, sehingga dia tak hanya berpangku tangan dirumah. Dia lah kepala
keluarga yang harus bertanggung jawab memberi nafkah. Bukan istrinya. Yang rela
pulang malam terus untuk lemburan demi kepulan dapur dan selesainya lilitan masalah.
Omongan
tetangga yang mengatakan bahwa istrinya sering pulang malam dengan pria lain
pun jadi perbincangan. Hati seorang suami mana yang tak terbakar mendengar
pernyataan itu. Tapi, dia bisa apa? Tak ada bukti, tak pernah matanya
terguncang langsung menatap perbuatan tak berperasaan istrinya itu, seperti
yang orang-orang perbincangkan. Dari yang berpegangan tangan sampai kecupan
mesra, menurut omongan ibu-ibu diwarung nasi pagi hari.
Hanya
rasa percaya yang dapat dititipkan pada istrinya itu. Karena sudah sepantasnya
begitu, dalam hubungan yang sudah kian tua dan dewasa. Berpikiran bahwa dalam
cahaya mentari yang menyengat, tetap masih ada cinta yang hangat. Itu amatlah
penting. Biarlah awam berkata apa, terserah
wudel mereka. Jelasnya biarlah hanya hati yang memberi penilaiannya
sendiri.
***
Hari duka terselimut di wajah Dinda
dan ibunya. Ketika mendapati pemimpin keluarga mereka dipanggil Yang Maha
Kuasa. Setiap pertemuan harus ada perpisahan. Meski berat untuk diterima itulah
keputusan dari hakikat manusia yang pasti kembali. Keperaduan, setelah lelah
berlayar menerjang hayat yang kadang tenang dan bergelombang.
Saat
malam hari setelah istrinya pulang, dia pergi membeli obat untuk istrinya yang
berucap sedang pusing dan masuk angin. Laki-laki itu berjalan menyusuri jalan
raya yang sudah sepi sembari memijit-mijit pergelangan tangannya, mencari
apotek yang masih buka. Sebelum akhirnya suara raungan motor berkelabat hitam
dari atas sampai bawah menyapanya keras.
Tubuh
itu terpelanting, jauh. Terhenti oleh sebuah pohon asem besar yang bertengger
di pinggir jalan. Pohon yang menjadi mitos penduduk, setiap tahunnya pasti akan
memakan nyawa sebagai tumbal. Hembusan udara pun terlaksana untuk terakhir
kali.
Kuda
bertopi hitam itu pun berkelabat menembus angin malam. Setelah tergelincir
dengan suara bising, decitan rem, dan gas. Menyapu lantai jalan dengan pakaian
atas bawahnya. Bergerak, was-was melaju. Berbagai mata berkumpul dalam hanyutan
peristiwa. Berbagai cahaya menjadi satu, setelah itu memencar kerumah korban,
pengobatan, dan kepolisian.
***
Masih tercetak jelas aura kesedihan
dari ke dua roman wanita itu. Setelah empat hari dari hari duka. Sang gadis
tiduran melayang menatap langit-langit kamarnya yang putih ditemani semburat
cahaya dari lampu kamarnya. Bertopeng seperti tokoh pewayangan Semar yang
selalu mewek.
Wanita setengah baya pun juga begitu,
menampakkan wajah sendu di depan cermin riasnya. Terlihat kerut diwajahnya,
terlukis gundah, sedih, dan tak sabar. Hatinya melayang-layang entah sampai
kedataran mana. Sesekali berhembus nafas panjang seraya memoles wajahnya.
Hingga berkeringat kembali, rasa khawatir dan geram pun terlewat. Sebelum
akhirnya terdengar deru mesin di pelataran rumah.
Wajahnya yang menggunakan topeng merah
putih itu pun riang. Diiringi bintang yang berkelip manja di pangkuan sang
alam. Dia duduk berpeluh ria sebelum udara malam menyeret peluhnya, berganti
hangat dengan lingkaran tangan dibadan penunggang kuda besi hitam itu.
Pengendara dengan topi hitam dan kaca beningnya.
Bukit Walisongo Permai,
07:47 AM, Kamis, 29 September 2011.
No comments:
Post a Comment