Wednesday, March 7, 2012

Topeng Duka


Saking: http://milis-bicara.blogspot.com/2011/12/topeng-diri.html

          Dua belas tahun sudah hubungan itu terjalin antar dua insan manusia. Ikatan suci yang diharapkan hanya satu kali seumur hidup dijalani. Tak ada kata pisah dalam tali itu, hingga ajal yang akan berkata sendiri. Memisahkan dua hati dalam satu jiwa yang terikat.
          Dari dua belas tahun, sejoli itu hanya dititipkan satu buah hati. Seorang dara yang sekarang menginjak usia sebelas tahun. Kulitnya putih, bersih dengan mata elang seperti ibunya yang meski umurnya sudah menginjak kepala tiga tetap terlihat muda. Sementara hidung dan dagunya seperti ayahnya yang tirus dan dagunya lebah bergantung. Perpaduan dari dua manusia berbeda ciptaan Tuhan.
Seperti halnya seorang ayah pada umumnya, laki-laki setengah baya pemilik hidung tirus itu pun seakan selalu khawatir dengan keadaan anak semata wayangnya itu. Sehingga yang timbul adalah tindakan over protective pada Dinda, gadis pemilik garis keturunannya.
Dari perasaan itu, Dinda selalu dilarang pergi dengan kawanannya. Apalagi kalau sampai senja hilang dipermukaan dia belum pulang kesangkarnya, pasti ayahnya akan mencari kesana-kemari. Telpon teman-teman dekatnya pun akan ternadakan, dari orang yang berinisial A sampai Z.
Tapi hal itu, kini sudah tak dirasakannya lagi. Tak ada lagi kata jangan yang keluar dari seseorang yang selalu melarangnya. Ketika waktu telah berkata pada sang takdir, “ini sudah waktunya.”
***
          Kabut malam bergelayut merayapi atap bumi. Angin pergantian waktu menyapa dengan kekhasannya. Membawa ke dalam memori lalu yang bergelayut. Masih jelas dalam ingatannya perpisahan Kelas 6 SD yang baru diikutinya tiga bulan lalu. Masih jelas wajah kedua orang tuanya yang hadir dalam kegembiraan melihat anaknya naik podium untuk meraih tempat sang juara dari sekolah.
          Tercetak jelas dalam ingatan, lekuk kerut senyum yang mengembang dari kedua orang tuanya. Berharap itu akan selalu mengenang untuk diingat bagi keduanya. Menjadi bayangan indah dalam benak sanubari, yang semoga akan berucap bangga padanya.
Gadis bermata elang itu masih menatap jauh keluar jendela depan rumahnya. Jauh menerawang khayalan emas ke langit lepas, tanpa terhalang pekat malam yang terulas. Dari sofa ruang tamulah ia memandang keluar rumah, menanti ibunya pulang segera. Sebab sudah lewat dari jam kerja biasanya, tapi tak pulang jua.
“Din, ibu kamu belum pulang juga?” tanya bapaknya.
“Iya pak, belum pulang. Bapak ndak khawatir?”
“Ya khawatir…” jawabnya kalem menyiratkan nada cemas.
Suara deru motor dan decitan rem mengisi gendang telinga. Suara yang direspon berasal dari luar rumah. Dinda pun melongok lebih dekat ke jendela supaya mendapatkan fokus gambar asal suara itu. Ayahnya menyusul dengan membuka tirai jendela yang berada di samping pintu.
  Terlihat seorang wanita turun dari boncengan sebuah motor yang dikendarai pria berhelm hitam. Dalam temaram lampu yang kekuningan wanita itu melambaikan tangan, saat motor itu melaju menerpa angin malam. Sesaat yang terlihat hanya punggung sang pengendara tersebut, sebelum akhirnya hilang dipersimpangan jalan. Menyisakan aroma kenangan berdua.
Wanita itu pun masuk kerumah bercat putih dengan jendela cokelatnya. Sebelum gagang pintu terpegang, pintu itu telah terbuka. Tampak seorang laki-laki dengan gips kayu yang dililit perban di lengan tangan kanannya.
“Kok baru pulang bu?” ucapnya dari bibir pintu.
“Iya pak, ada lemburan. Dinda mana pak? Udah pada makan belum?” balasnya cepat seraya masuk ke rumah.
“Belum bu, soalnya nunggu ibu pulang dulu.” seru Dinda dari arah sofa sebelah kanan pintu.
“Ya udah, yuk makan dulu. Ini ibu bawa soto kambing.”
 “Emang ibu udah gajian? Kok setiap ibu pulang malam, selalu bawa makanan enak.” tanya Dinda polos.
“Ibu kan lemburan.” jawabnya dengan nada datar berarti, kemudian tersenyum sarat makna.
Akhir-akhir ini, wanita itu memang selalu pulang telat kerumah. Pulangnya pun selalu bersama pria helm hitam itu. Pulang dengan bingkisan dan seulas senyuman bahagia tanpa merasa lelah setelah bekerja disebuah Pabrik Konveksi dari pagi.
Alasan yang janggal dan membingungkan suaminya. Menjadi pikiran, lemburan masa hampir tiap hari. Tapi, dia tetap beperasangka apik pada istri tercintanya itu. Meski tak dapat dipungkiri hatinya tercabik dan panas oleh kedekatannya dengan yang lain.
Dia menyadari setelah kecelakaan mobil yang disopirinya masuk ke jurang. Dia sudah hampir dua bulan tak bekerja, sebab tangannya masih sakit untuk digerakkan. Perihal kejadian tersebut pula ia harus beristirah dirumah dan membiarkan istrinya sendiri yang bekerja untuk menutupi biaya rumah sakit, hidup keseharian, biaya perbaikan mobil yang masuk jurang. Walaupun itu dibantu sang pemilik mobil sebesar 75 %, tapi tetap saja dirasa berat bagi keluarga kecil ini.
          Hanya bisa berharap semoga tangannya lekas sembuh, sehingga dia tak hanya berpangku tangan dirumah. Dia lah kepala keluarga yang harus bertanggung jawab memberi nafkah. Bukan istrinya. Yang rela pulang malam terus untuk lemburan demi kepulan dapur dan selesainya lilitan masalah.
Omongan tetangga yang mengatakan bahwa istrinya sering pulang malam dengan pria lain pun jadi perbincangan. Hati seorang suami mana yang tak terbakar mendengar pernyataan itu. Tapi, dia bisa apa? Tak ada bukti, tak pernah matanya terguncang langsung menatap perbuatan tak berperasaan istrinya itu, seperti yang orang-orang perbincangkan. Dari yang berpegangan tangan sampai kecupan mesra, menurut omongan ibu-ibu diwarung nasi pagi hari.
Hanya rasa percaya yang dapat dititipkan pada istrinya itu. Karena sudah sepantasnya begitu, dalam hubungan yang sudah kian tua dan dewasa. Berpikiran bahwa dalam cahaya mentari yang menyengat, tetap masih ada cinta yang hangat. Itu amatlah penting. Biarlah awam berkata apa, terserah wudel mereka. Jelasnya biarlah hanya hati yang memberi penilaiannya sendiri.
***
          Hari duka terselimut di wajah Dinda dan ibunya. Ketika mendapati pemimpin keluarga mereka dipanggil Yang Maha Kuasa. Setiap pertemuan harus ada perpisahan. Meski berat untuk diterima itulah keputusan dari hakikat manusia yang pasti kembali. Keperaduan, setelah lelah berlayar menerjang hayat yang kadang tenang dan bergelombang.
Saat malam hari setelah istrinya pulang, dia pergi membeli obat untuk istrinya yang berucap sedang pusing dan masuk angin. Laki-laki itu berjalan menyusuri jalan raya yang sudah sepi sembari memijit-mijit pergelangan tangannya, mencari apotek yang masih buka. Sebelum akhirnya suara raungan motor berkelabat hitam dari atas sampai bawah menyapanya keras.
Tubuh itu terpelanting, jauh. Terhenti oleh sebuah pohon asem besar yang bertengger di pinggir jalan. Pohon yang menjadi mitos penduduk, setiap tahunnya pasti akan memakan nyawa sebagai tumbal. Hembusan udara pun terlaksana untuk terakhir kali.
Kuda bertopi hitam itu pun berkelabat menembus angin malam. Setelah tergelincir dengan suara bising, decitan rem, dan gas. Menyapu lantai jalan dengan pakaian atas bawahnya. Bergerak, was-was melaju. Berbagai mata berkumpul dalam hanyutan peristiwa. Berbagai cahaya menjadi satu, setelah itu memencar kerumah korban, pengobatan, dan kepolisian.
***
          Masih tercetak jelas aura kesedihan dari ke dua roman wanita itu. Setelah empat hari dari hari duka. Sang gadis tiduran melayang menatap langit-langit kamarnya yang putih ditemani semburat cahaya dari lampu kamarnya. Bertopeng seperti tokoh pewayangan Semar yang selalu mewek.
           Wanita setengah baya pun juga begitu, menampakkan wajah sendu di depan cermin riasnya. Terlihat kerut diwajahnya, terlukis gundah, sedih, dan tak sabar. Hatinya melayang-layang entah sampai kedataran mana. Sesekali berhembus nafas panjang seraya memoles wajahnya. Hingga berkeringat kembali, rasa khawatir dan geram pun terlewat. Sebelum akhirnya terdengar deru mesin di pelataran rumah.
          Wajahnya yang menggunakan topeng merah putih itu pun riang. Diiringi bintang yang berkelip manja di pangkuan sang alam. Dia duduk berpeluh ria sebelum udara malam menyeret peluhnya, berganti hangat dengan lingkaran tangan dibadan penunggang kuda besi hitam itu. Pengendara dengan topi hitam dan kaca beningnya.  

Bukit Walisongo Permai, 07:47 AM, Kamis, 29 September 2011.

No comments: