Monday, December 30, 2013

UU Desa, Peluang ataukah Ancaman?

Gambar dari sini

Oleh: Hendra Saputra

Rancangan Undang-Undang (RUU) Desa yang sudah digodog kurang lebih selama tujuh tahun, akhirnya menuai hasil tatkala ia disahkan menjadi UU dalam Rapat Paripurna DPR pada 18 Desember 2013 lalu. Dari disahkannya UU Desa inilah, nantinya desa akan memperoleh dua sumber dana, yaitu alokasi anggaran yang diperuntukkan langsung ke desa. Alokasi anggaran tersebut telah ditetapkan sebesar 10 persen dari dan di luar dana transfer daerah. Sumber yang kedua adalah dana desa yang selama ini sudah ada. Selama ini, desa berhak memperoleh 10 persen dari dana perimbangan yang diterima kabupatennya, yang terdiri dari dana alokasi umum (DAU) dan dana bagi hasil (DBH).
Dengan adanya kebijakan seperti itulah tentunya aparatur desa serasa mendapatkan angin segar. Karena tak dapat dipungkiri bahwasanya potensi anggaran yang akan masuk ke desa baik itu dari pemerintah pusat maupun daerah bisa ditaksir hingga Rp 1 miliar per desanya, dan sangat terbuka sekali bagi pemerintah desa untuk menentukan penggunaan anggaran yang dimiliki olehnya itu.
Namun, seperti halnya perkataan dalam film Spiderman, bahwasanya “kekuatan yang besar juga menuntut tanggung jawab yang besar.” UU Desa yang berpotensi memunculkan peluang anggaran yang besar bagi desa pun sama menuntut tanggung jawab yang besar pula bagi para pengelolanya. Jangan sampai UU Desa yang didasari atas niatan untuk menjadikan desa sebagai pusat pertumbuhan dan kreativitas sosial ekonomi masyarakat di desa justru malah menjadi lumbung padi bagi para tikus-tikus.

Memicu Permasalahan
Selain itu, tak bisa dipungkiri bahwasanya UU Desa juga memiliki potensi untuk menimbulkan permasalahan di masa mendatang. Permasalahan pertama yang akan muncul adalah perebutan jabatan kepala desa yang akan semakin panas. Hal tersebut disebabkan adanya kepastian alokasi dana yang didapat desa, sehingga memicu para tokoh-tokoh potensial untuk mencalonkan dirinya sebagai kepala desa, bahkan keadaan tersebut juga bisa merambah sampai keperebutan jabatan perangkat desa yang tidak sehat.
Dari permasalahan tersebutlah, permasalahan selanjutnya akan muncul, yaitu terancamnya keharmonisan kehidupan masyarakat desa. Karena dari pemilihan kepala desa yang ketat itulah potensi terganggunya stabilitas sosial ketika seorang kepala desa sudah terpilih sangatlah tinggi. Apalagi pemilihan kepala desa yang ada di Indonesia kebanyakan masihlah mengutamakan unsur kekerabatan, sehingga tak jarang banyak para calon kepala desa yang menggunakan kekuatan kekerabatan itu untuk memenangkan suatu pemilihan.
Lebih lanjut, potensi penyelewangan anggaran pun menjadi semakin besar peluangnya. Mengingat, aparatur desa memiliki wewenang atas setiap anggaran yang akan digelontorkan ke desa tersebut. Maka dari itu, untuk mencegah berbagai permasalahan yang mungkin timbul, diperlukan sosialisasi UU Desa secara intens dan komprehensif diseluruh desa dengan pendekatan dan metodologi yang tepat. Selain itu, diperlukan juga pendidikan politik bagi masyarakat, supaya dalam pengimplementasian UU Desa ini masyarakat juga memiliki kesadaran dalam posisi, hak, dan tanggungjawab mereka. Sehingga masyarakat sebagai pelaku UU Desa ini pun bisa saling percaya dan mau bahu membahu merealisasikan tujuan dari UU ini.

Musyawarah dan Gotong Royong
Bagaimanapun juga, adanya UU Desa sudah seharusnya dapat dijadikan sebagai peluang. Sebuah sarana dan kesempatan untuk meningkatkan perekonomian dan pembangunan desa. Sehingga, janganlah sampai dalam pelaksanaannya UU Desa ini malah menjadi bumerang yang menghancurkan keharmonisan desa. Karena tujuan dari adanya UU Desa ini juga berlandaskan atas tujuan negara yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu untuk memajukan kesejahteraan umum.    
Untuk itu, hal yang perlu dipersiapkan dalam pengaplikasian UU Desa ini adalah dengan meningkatan kapasitas dan kualitas aparatur desa terlebih dahulu. Saat proses itu berjalan, sistem perencanaan dan pengawasan yang memadai pun harus segera dibuat. Dengan seperti itulah, harapannya korupsi tidak akan merambah sampai ke desa.
Dilain sisi, pemerintah desa kiranya juga perlu memerhatikan dua nilai luhur masyarakat desa yang senantiasa digunakan dalam berbagai pengambilan keputusan dan kegiatan. Dua akar budaya masyarakat desa, yaitu musyawarah dan gotong royong. Sebab dapatlah dikatakan bahwa dengan merekalah kunci dari suksesnya implementasi UU Desa ini akan tercapai.
Seperti halnya kesuksesan walikota kota Puerto Alegre di Brazil yang memberikan kesempatan bagi warganya untuk berpendapat dengan menuliskan prioritas pembangunan yang diinginkan. Hasilnya, dari proses pengumpulan pendapat inilah alokasi dan anggaran pembangunan ditetapkan. Setelah sebuah keputusan final hasil musyawarah ini diputuskan tentunya. Sehingga ketika pembangunan dilaksanakan warga pun bisa ikut gotong royong atau setidaknya merasa memiliki karena keputusan tersebut pun tidak lain adalah hasil dari partisipasi mereka sendiri.
Apalagi dalam UU Desa ini nantinya juga akan ada Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yang merupakan lembaga permusyawaratan dan permufakatan yang berfungsi menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat desa. Dengan BPD ini pulalah harapannya masyarakat desa nantinya bisa saling bermusyawarah dalam menentukan kebijakan untuk pembangunan desa. Kemudian hal lain yang patut menjadi perhatian utama pula, aparatur desa patutnya dalam pengelolaan anggaran desa juga mengedepankan transparansi dan akuntabilitas, sehingga mengarah pada “good village governance."
Pemerintah pun sudah seharusnya belajar dan mengevaluasi diri pada berbagai program sebelumnya yang pernah mencoba mensimulasikan implementasi UU Desa ini, salah satunya yaitu PNPM Mandiri Perdesaan. Karena tentunya dari program yang telah berjalan ini, pemerintah bisa memetik pembelajaran kiranya hal apa saja yang perlu didukung agar UU Desa ini menuai hasil yang efektif dan efesien. Misalnya, berbagai pelatihan untuk para pengangguran atau pekerja tidak tetap, lalu mengadakan penyuluhan pada berbagai bidang yang banyak digeluti masyarakat desa, merancang pola pengawasan dalam desa, dan sebagainya.


- Hendra Saputra, Crew LPM Edukasi Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan IAIN Walisongo.

Sunday, December 29, 2013

Beasiswa Data Print


Program beasiswa DataPrint telah memasuki tahun ketiga. Setelah sukses mengadakan program beasiswa di tahun 2011 dan 2012, maka DataPrint kembali membuat program beasiswa bagi penggunanya yang berstatus pelajar dan mahasiswa.  Hingga saat ini lebih dari 1000 beasiswa telah diberikan bagi penggunanya.
Di tahun 2013 sebanyak 500 beasiswa akan diberikan bagi pendaftar yang terseleksi. Program beasiswa dibagi dalam dua periode. Tidak ada sistem kuota berdasarkan daerah dan atau sekolah/perguruan tinggi. Hal ini bertujuan agar beasiswa dapat diterima secara merata bagi seluruh pengguna DataPrint.  Beasiswa terbagi dalam tiga nominal yaitu Rp 250 ribu, Rp 500 ribu dan Rp 1 juta. Dana beasiswa akan diberikan satu kali bagi peserta yang lolos penilaian. Aspek penilaian berdasarkan dari essay, prestasi dan keaktifan peserta.
Beasiswa yang dibagikan diharapkan dapat meringankan biaya pendidikan sekaligus mendorong penerima beasiswa untuk lebih berprestasi. Jadi, segera daftarkan diri kamu, klik kolom PENDAFTARAN pada web ini!
Pendaftaran periode 1 : 1 Februari – 30 Juni 2013
Pengumuman                : 10 Juli 2013

Pendaftaran periode 2   : 1 Juli – 31 Desember 2013
Pengumuman                : 13 Januari 2014

PERIODE
JUMLAH PENERIMA BEASISWA
@ Rp 1.000.000@ Rp 500.000@ Rp 250.000
Periode 1
50 orang
50 orang
150 orang
Periode 2
50 orang
50 orang
150 orang

Informasi Lebih lanjut bisa dilihat disini guys.