Gambar dari sini |
Oleh:
Hendra Saputra
Kupandangi cermin rias yang ada
dihadapanku. Terpajang dimeja riasnya fotomu yang sedang bersama denganku. Foto
yang membuatku masih saja tak menyangka, bahwa hari ini kau akan datang tuk
melamarku. Memberikanku kesempatan untuk membuka halaman baru dalam kehidupan
yang sudah kuyu. Kau adalah malaikat bagiku yang seorang janda beranak dua ini.
Ya. Karena kau bersedia menjadi orang yang akan melepas status jandaku.
Dimana orang-orang lainnya menggunjingku
dengan berbagai alasan dan prasangka yang menyesakkan kalbu. Namun, kau malah
hadir dengan membawa oase biru yang menyejukkan kegersangan jiwaku. Akupun
masih ingat ketika dulu pertama kali kita bertemu.
Kaulah yang dulu menolong anakku
saat terjatuh dari sepedanya. Kau dengan baiknya mengobati luka anak pertamaku
yang baru berumur tujuh tahun pada waktu itu. Tak cukup sampai disitu, kaupun
mengantar anakku pulang. Hingga akhirnya kita bertemu. Berkenalan. Bercakap-cakap.
Akrab sampai melupakan waktu. Entahlah. Aku juga kurang tahu kapan rasa itu
mulai bersemi dikalbu.
Yang jelas rasa itu halus menilisik
ke dalam hati. Tanpa aku ketahui bagaimana ia bisa datang dan tak mau pergi. Tak
disangka-sangka, kau pun juga memiliki rasa yang sama denganku. Sebuah rasa
yang sudah lama terhanyut oleh kenangan masa lalu. Saat aku masih mendayung
kehidupan bersama mendiang suamiku. Ya. Sekarang rasa itu kembali ku rasakan
lewat tatapan matamu yang mendebarkan jantungku. Pun ku rasakan juga, dimatamu
ada malaikat yang siap melindungiku. Menjaga dan menyayangi anak-anakku
layaknya anak kandungmu sendiri.
Meski pada kenyataannya, kisah itu
tak semudah dalam angan untuk dinarasikan ke dalam balut suka. Butuh
pengorbanan, air mata, duka, luka dan samsara yang menerpa disetiap kalimatnya.
Apalagi saat cobaan itu tidak hanya datang dari masyarakat pada umumnya.
Melainkan datang dari keluargamu sendiri, yang seharusnya menjadi orang pertama
yang akan mendukung setiap tindakanmu. Namun, malah justru keluargamu lah yang
paling getol untuk memisahkan tali yang sedang kita rajut bersama.
Aku pun masih ingat ketika kau
memperkenalkanku kepada keluargamu. Mereka dengan sebelah mata memandangku, sinis.
Memperlakukanku seakan aku ini najis yang perlu dijauhi. Sakit sebenarnya diri
ini. Tapi apa mau dikata, rasa sayangku padamu melebihi segalanya. Apalagi mata
malaikatmu selalu saja menguatkanku, agar aku percaya bahwa kita pasti bisa
melewati semua aral yang menghadang.
“Yani, percaya sama aku. Insya Allah
hubungan kita ini pasti akan menemukan jalannya. Meskipun harus berderai air
mata dan berdarah dahulu dalam meraihnya.” Tuturmu waktu itu menguatkanku.
Akupun hanya bisa menangis kala itu
didekapanmu.
Tak dapat berkata apa-apa.
***
Hampir dua tahun hubungan kita
berjalan. Masih saja tak ada kata restu bagi jalinan yang kita rajut ini.
Hingga akhirnya, disuatu sore kau mengabarkanku bahwa kau dan keluargamu akan
datang untuk melamarku. Kau pun bercerita, bahwa keluargamu sudah luluh dan mau
merestui hubungan kita.
“Beneran Mas Heri?” Tanyaku dengan
girang tak percaya semua hal ini terjadi.
“Iya beneran.” Balasmu dengan nada
kegembiraan diujung telepon.
Karena bagaimanapun juga, memang cinta itu tak bisa dipaksakan. Cinta itupun
datang bukan dari kehendak kita. Ia datang entah dengan bahasa apa. Yang jelas
ia tak terbahasakan. Makanya, meskipun keluargamu sudah berulang kali ingin
menjodohkanmu dengan wanita lainnya. Tetap saja kau tak mau. Karena cintamu
memang sudah melekat pada seorang wanita berstatus janda, punya anak dua, aku.
Dan kini, aku bersiap menunggu
kedatanganmu dengan rombongan keluargamu. Deg-degan rasanya, ada rasa senang,
tak menyangka, dan kesumringahan yang bercampur aduk dalam diriku. Sebab sebentar
lagi aku akan menanggalkan status jandaku. Setelah kau melamarku, kemudian tak
seberapa lama kau pun akan menyuntingku. Sungguh bahagianya diri ini.
Bukit Walisongo Permai, 2:55 AM, 30 Agustus
2012
No comments:
Post a Comment