Wednesday, February 19, 2014

Mentransformasi Pendidikan Mental “Babu” Generasi Muda


Oleh: Hendra Saputra

             

            Sudah semestinya, Indonesia optimis menatap masa depannya. Apalagi jika melihat laporan oleh Bank Dunia yang bertajuk “Global Development Horizons 2011 Multipolarity: The New Global Economy,” yang menempatkan Indonesia, Brasil, China, India, Korea Selatan, dan Rusia sebagai penopang pertumbuhan ekonomi dunia hingga tahun 2025 mendatang. Keenam negara tersebut adalah kekuatan baru ekonomi dunia yang akan membantu pertumbuhan  ekonomi di negara-negara  miskin.  Hal itu dikarenakan ekonomi negara-negara berkembang diperkirakan tumbuh 4,7 persen per tahun selama periode 2011-2025, lebih tinggi ketimbang negara-negara maju yang hanya tumbuh 2,3 persen per tahun.
            Karena bagaimanapun juga, Indonesia memang pantas mendapatkan gelar sebagai salah satu negara maju di dunia. Menilik, dari sumber daya manusia (SDM) sendiri, Indonesia merupakan salah satu negara dengan populasi penduduk terbanyak di dunia. Berada di urutan ke empat setelah China, India, dan Amerika Serikat. Indonesia pun menjadi salah satu negara yang dilalui oleh garis khatulistiwa, yang mengakibatkan iklim di Indonesia tropis dengan tanah subur dan kaya mineral serta tambangnya. Akan tetapi, meskipun bangsa ini memiliki berbagai potensi yang potensial mengapa gelar sebagai negara maju belumlah terealisasi sampai sekarang?
            Maka dari itu, untuk mewujudkan hal tersebut haruslah ada rekonstruksi diberbagai aspek. Entah itu pada aspek para stakeholder negara ini, supaya dapat lebih amanah dalam menjalankan tugasnya. Aspek sosial budaya yang masih perlu diberikan arahan supaya tidak tercipta lagi konflik sosial maupun perpecahan dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sampai pada akhirnya ke masalah yang paling mendasar dan urgen, yaitu masalah pendidikan bangsa ini.
            Mengingat, pendidikan merupakan kawah candradimuka yang penting bagi para putra-putri bangsa. Generasi bangsa yang kelak akan memegang tampu tanggung jawab masa depan negara Indonesia. Seperti kata filosof terkenal dari Yunani, Aristoteles yang mengatakan “Siapa pun yang pernah memikirkan seni memerintah umat manusia, maka akan merasa yakin bahwa nasib suatu negara akan ditentukan oleh pendidikan kaum muda.” 
Pendidikan Bermental Babu
         Sementara itu, persaingan di dunia kerja membutuhkan orang-orang yang siap saing, sebab pasar bebas sudah merambah Indonesia. Namun, sayangnya kategori siap saing kebanyakan diparameterkan dengan legalitas dalam ijasah semata. Pengakuan yang belum tentu sesuai dengan capability pemilik ijasah tersebut. Orientasi pendidikan yang mencerdaskanpun kembali dipertanyakan. Apakah sudah mencetak kader-kader bangsa yang bisa membangun negeri ini ke depannya? Lalu dengan apa kader itu membangun bangsa?
       Lebih lanjut, kebanyakan mind set para pelaku pendidikan di negara ini juga masih banyak yang berorientasikan pada pekerjaan, alias berpikiran menjadi pegawai. Yang dalam bahasa kasarnya dapat dibilang menjadi “babu”. Pendidikan belum bisa sepenuhnya mencetak generasi bangsa yang bermental pengusaha. Terbukti dari sekian ribu mahasiswa lulusan perguruan tinggi, hanya sedikit yang bisa membuka usaha sendiri. Mereka lebih banyak berpikiran untuk menjadi pegawai, seperti pegawai kantoran atau pegawai negeri sipil (PNS) yang mendapatkan gaji tetap.
           Masalah lainnya, pendidikan sekolah pun kurang atau tidak dapat menjawab tantangan pembangunan yang memerlukan tenaga-tenaga yang berswadaya dengan watak pembangunan dan mental yang tangguh. Oleh karena itu, timbul kesangsian terhadap sekolah yang hanya dapat memberi pelajaran-pelajaran teori dan kurang memberi keterampilan sebagai bekal hidup anak kelak. Apalagi pembinaan mental kurang mendapat perhatian. Pelajar-pelajar sekolah bidang umum pun bergerak memucuk secara piramidal (bahaya bila terbalik pucuknya di bawah) dan membanjir pada tingkat perguruan tingginya (Everett Reimer, 2000:VII).
Rekonstruksi Pendidikan
        Padahal menurut Sosiolog David McClelland “Suatu negara bisa menjadi makmur jika ada enterperneur setidaknya 2% dari jumlah seluruh penduduk.” Sedangkan di Indonesia sendiri baru 0,18 % enterpreneur dari jumlah penduduk, oleh karena itu Indonesia masih membutuhkan sekitar empat juta enterpreneur lagi. Hal itu akan didapat jika lembaga pendidikan yang sifatnya mencetak karakter dan mutu putra-putri bangsa dapat bersumbangsih. Dengan salah satunya mengadakan dan mengembangkan pelajaran enterpreneurship kepada para peserta didik. Entrepreneur di sini dapat diartikan sebagai suatu aktivitas yang secara konsisten dilakukan guna mengkonversi ide-ide yang bagus menjadi kegiatan usaha yang menguntungkan (Peter F. Drucker).            
            Oleh sebab itu, pendidikan di Indonesia mendatang harus lah dapat membentuk karakter peserta didik yang bermental pengusaha. Punya sifat kewirausahaan yang siap menanggung risiko, percaya diri, kreatif, inovatif, dan sebagainya. Sehingga dapat menjadikan barang yang tak berguna menjadi barang yang bernilai guna tinggi.
            Dalam praksis pendidikan entrepreneur itu sendiri, nantinya juga tidak boleh meninggalkan aspek terpenting dalam prinsip entrepreneur, yaitu iman, ilmu, dan ikhtiar. Lalu dalam pembelajarannya pun lebih mengedepankan praktik langsung ke lapangan, misalnya saja peserta didik disuruh untuk menjual suatu barang atau peserta didik diberikan beberapa uang kemudian mereka disuruh mencari ide untuk menggunakan uang tersebut sebagai modal usaha mereka dan sebagainya, yang penting dalam pembelajarannya praktiknya yang lebih diutamakan dari pada materi.   
            Dari hal itulah, diharapkan akan muncul pengusaha-pengusaha baru yang siap tampil bersaing di ranah pasar bebas. Selain itu, hal tersebut juga memberikan asa bagi pertumbuhan perekonomian di Indonesia yang sekarang makin menyedihkan saja keadaannya. Pengangguran pun dapat di minimalkan, karena adanya banyak lapangan pekerjaan yang tersedia. Kalaupun belum bisa membuat hal seperti itu, minimal sang entrepreneur tersebut sudah bisa hidup mandiri alias tidak jadi pengangguran. Itu saja sudah luar biasa.
            Ya semoga saja mental para generasi muda bangsa ini bisa berubah. Sehingga tidak hanya puas untuk menjadi “babu”, tapi cobalah berpikiran untuk punya “babu”. Seperti perkataannya Donald Trump, “Jika kamu masih bisa berpikir, maka berpikirlah untuk menjadi orang besar”. Iya, berpikirlah selalu untuk jadi orang besar, jangan hanya mau menjadi orang menengah ataupun bawah. Karena kalau kata Napoleon, di dunia ini tidak ada yang tidak mungkin, tapi tidak ada yang mudah. Jadi, selain bermimpi, kita juga harus bisa bertindak dan selalu berusaha untuk menggapai apa yang kita impikan tersebut.


No comments: